Arrival (1)

5 0 0
                                    

Mendengar seruan Ima di saluran telpon itu membuat jiwa kesepianku meronta-ronta. Aku tidak paham kenapa semua tiba-tiba berubah begitu saja. Aku awalnya nyaris tidak percaya dengan kekuatan doa. Bagaimana bisa mengubah segalanya hanya dalam sekejap. Apa doa benar-benar mujarab? Apakah Allah akan merasa malu jika tidak mengabuli permintaan doa hambanya yang tulus sambil menadahkan tangan kepada-Nya?

Entah apapun ini yang jelas sepertinya bukan hal buruk untuk dijalani. Aku langsung meraih jaket di dalam lemari, lalu mengenakannya dengan rapi. Aku langsung keluar meski tanpa mandi dan gosok gigi. Aku lupa, bukannya sengaja. Untung aku selalu mengantongi penyedap bau mulut, jika saja dibutuhkan mendadak. Yang jelas bukan micin penyedap rasa, apalagi rasa kaldu ayam milik tetangga.

Aku sedikit terlambat gara-gara macet di daerah pusat. Jika tahu tadi bakal begini jadinya, mending aku naik metro saja. Meski tidak lebih praktis dari naik taksi, tapi tarif lebih murah itu sudah pasti. Saat berangkat tadi, aku memang masih beranggapan semua masih dalam kondisi lockdown, tetapi kenyataanya tidak seperti dugaan. Roman-romannya malah seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dunia berjalanan dengan normal, tidak ada yang janggal. Aku sekarang benar-benar sulit membedakan mana mimpi dan mana dunia nyata.

Aku baru menyadari kalau Ima menelpon Wechat-ku berkali-kali, mungkin penerbangannya transit dari Singapore sudah tiba sejak tadi.

"Xie xie, Shifu! (Makasih, Pak!)" seruku pada pengemudi taksi itu. Tanpa banyak basa-basi, aku berlarian masuk ke dalam Hallway Bandara Internasional Lukou. Pandanganku langsung tertuju ke sign board di sisi eskalator, bola mataku naik turun mencari area arrival. Seingatku di bandara arrival penerbangan internasional dan domestik berada di lantai bawah. Aku langsung turun mengikuti instingku.

Tidak salah lagi, aku ingat penampakan ini. Aku sampai di imigration exit doorway. Kedua mataku memburui jadwal penerbangan dari Singapore di waktu terdekat.

Arrived.

Sudah lebih dari setengah jam yang lalu. Aku menoleh kanan dan kiri mencari ke mana batang hidung gadis itu. Riuh orang-orang yang berkepentingan sibuk berlalu-lalang. Deru koper dan langkah kaki bergantian memenuhi gendang telingaku. Sampai tak sengaja aku melihat sosok gadis dengan rambut setengah lurus jatuh berwarna hitam kecoklatan sedang duduk di cafe seberang. Wujudnya tidak berubah, ia sedang sibuk dengan ponselnya dan meletakkan itu di daun telinganya.

Drttdrrttt!

Tiba-tiba ponselku bergetar, aku mengerling ke arah benda canggih di tangan kananku. Melihat nama itu entah seakan memicu perasaan yang dari tadi menggebu-gebu seketika hilang bagaikan debu. Sepenuhnya tergantikan dengan beribu pertanyaan serta keanehan yang masih mengguncangi pikiran.

Gadis itu mengibas rambutnya dan menoleh ke arahku. Sial!

"Sayang!" panggilnya.

Reflek, aku berbalik badan berpura-pura tidak melihatnya, romannya sangat tidak karuan. Kupercepat langkahku menjauh sambil sibuk menggaruki ubun-ubunku. Aku mendengar teriakannya memanggil. Terdengar pula ketukan langkah kakinya mengejarku. Kaget aku saat dipeluk olehnya dari belakang. Jantungku seperti habis di-tampol dengan—defribillator—alat kejut jantung. Sebab perasaanku saat ini benar-benar campur aduk. Rasa dipeluk mantan yang sebenarnya bukan mantan. Sulit dipastikan.

"Aku kangen banget, udah dua bulan lebih kita nggak ketemu," ungkapnya dengan semakin mempererat dekapannya. Aku memperhatikan tangannya yang mulus—tidak berubah sedikitpun. Ini memang Ima yang kukenal, jika bukan lalu siapa lagi?

Ada gelegak yang ingin meledak. Rasanya aku seperti terjepit oleh dunia yang semakin sempit. Aku bingung harus bagaimana bereaksi. Ibarat terbangun dari sekelebat mimpi tentang pertualangan yang sangat jauh, tetapi meyisakan kenangan dan luka yang masih mengeruh.

Ini tidak benar. Aku yakin dunia ini palsu; aku pasti sedang dibohongi; ditipu dengan cara yang membuat aku hanya bisa membisu; kebingungan karena dipermainkan.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang