Bagai Kucing & Anjing (1)

3 0 0
                                    

Jan saat itu busananya sudah setengah terbuka dengan handuk menggantung di lehernya, ia sibuk merogo koper mencari celana dalamnya. Aku lebih dulu mengambil peralatan mandi dari dalam tas di sisi tempatku terbaring, kemudian langsung bangkit dari kasur dan menepik bokong Jan.

"Gue duluan!" seruku, lalu berlarian keluar merebut giliran.

"Eh-eh?! Lu bukannya tadi bilang nggak mau mandi!" pekiknya. Namun, peduli amat. Karena apartemen ini cuma punya satu kamar mandi. Jadi, siapa cepat dia yang sikat. Bukankah memang sudah seharusnya aku kerja lebih keras dan tidak lagi bermalas-malas. Jika tidak ingin kehilangan apa yang aku sayangi lagi.

"Kebanyakan sesuatu yang hilang tidak jauh karena pernah luput dan terabaikan. Dan kebanyakan hal yang pergi karena sempat tidak dihargai."

Aku mandi cukup lama sore itu. Air dari shower bercucuran di atas ubun-ubunku hingga membasahi seluruh tubuh. Biasanya aku kerap menyalakan musik, supaya kegiatan berbasah-basah jadi lebih asik. Namun, hari ini pengecualian. Aku tidak mau kebiasaan burukku diketahui para gadis di ruang seberang kamar mandi. Apalagi sampai mereka tau suaraku jauh lebih buruk saat bernyanyi. Sebenarnya rata-rata keluargaku pada pandai bermusik. Mulai dari ayah, ibu, paman, bibi, bahkan sepupuku semua punya bakat bermusik. Namun, entah kenapa bakat itu tidak menurun kepadaku. Aku hanya unggul dalam merangkai kata. Mungkin sudah takdir dari sananya.

Kurang lebih hampir satu jam, untungnya tidak sampai malam. Aku menarik handuk dan mengesat rambutku, kemudian aku membuka pintu dan keluar. Ada Iqa sedang menunggu beberapa meter di depan pintu.

"Ro-ro-roti sobek, astaghfiullah," sebutnya, lalu menutup mata dan berbalik arah, "Kak, maaf!"

Aku melihat tubuhku yang hanya memakai celana dalam, kaget bukan main, aku benar-benar tidak sadar, beringsut lah aku menutupnya dengan handuk di tanganku.

Jan pun muncul tepat di saat itu sambil keheranan menatap Iqa. Ia melangkah dengan membawa alat mandinya. "Udahan lu?"

"U-udah-udah!" jawabku masih dalam kondisi setengah gugup.

Jan pun masuk ke dalam. Mendengar suara pintu tertutup, sekejap Iqa membuka matanya dan melihat kamar mandi yang sudah diisi orangnya. Gadis berjilbab itu melirikku sesekali dengan malu-malu, kemudian menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Ngapain lu! Gue lagi gosok ketiak nih!" erang Jan dari dalam, ia pasti mengira yang menggedor itu aku.

"Ini aku!" seru Iqa, sambil terus menggedor pintu. "Aku udah ngantri dari tadi, kebelet nih!"

"Lah, kenapa lu nggak masuk duluan tadi?"

Begitulah asal muasal kembali terbakarnya sumbu pertikaian di antara kedua anak itu, padahal sudah sempat memasuki masa tenang setelah sama-sama melupakan kejadian yang hampir serupa—gara-gara rebutan, dan sekarang kamar mandi pun jadi rebutan. Aku hanya menggeleng menyaksikan pertengkaran episode kedua yang tayang hari ini.

***

Jan menunjuk ke arah etalase rokok di sudut kanan. Ia membeli dua bungkus. Jan memang perokok aktif, tapi ia sopan dalam merokok. Ia biasanya mencari ruang kosong atau sepi jika hasrat mengudut batang api itu tiba. Makanya jarang sekali kami melihatnya merokok.

Kami menyeberang jalan sambil menenteng belanjaan. Tadi, kami habis dari supermarket membeli bahan memasak untuk nanti malam. Ketimbang membeli makan cepat saji, kami semua sepakat untuk memasak. Makanya Jan sengaja mencarikan apartemen yang ada dapurnya.

Saat masuk, aku lebih dulu menyalakan tombol lampu yang ada di sisi pintu. Sudah lumayan gelap memang sore itu. Kami pun memanggil dua gadis yang akan menjadi koki untuk masak malam ini sebab kami laki-laki sudah pergi berbelanja. Ima dan Iqa keluar dari kamar mereka, lalu menyambut barang-barang yang kami bawa, dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin.

Aku bersandar di sofa ruang tengah. Merasakan kembali kenikmatan merebahkan jiwa. Pandanganku tertuju kepada dua gadis yang berkutat dengan alat dapur. Sebenarnya yang akan menjadi chef utama adalah Iqa, gadis itu memang pandai memasak. Apalagi karena kami satu daerah, denganku sudah pasti satu selera.

Sementara Ima, ia sejatinya memang bisa memasak, tapi tidak terlalu pandai. Kadang kurang garam kadang juga keasinan. Ya, meski aku harus berlagak puas agar tidak mengecewakannya yang sudah susah-payah memasak untukku. Makanya aku pernah bilang masakannya yang paling enak itu sewaktu aku mengantarnya ke bandara.

Aku pun bangkit dan hendak membantu. Entah rasanya tubuh ini greget kalau melihat orang lain bekerja sementara aku berleha-leha. Aku membantu memotong wortel. Karena terbiasa mandiri di luar negeri, apalagi hidup seorang diri, caraku memotong wortel ataupun mengupas bawang sudah lumayan mahir. Iqa sampai tak percaya dengan teknikku yang hampir menyainginya.

Tiba-tiba ponsel berbunyi. Entah milik Ima ataupun milik Iqa. Ternyata ada telpon masuk ke ponsel Ima. Ia menutup kulkas, lalu pergi keluar untuk mengangkat telpon.

>>> Berlanjut ...

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang