Malam Pertama di Beijing (2)

8 0 0
                                    

Jan seketika menerawang plafon restoran junkfood itu, ia coba mengulik isi kepalanya mencari memori perkenalan pertamaku dengannya. Tiba-tiba Jan tertawa. Jan akhirnya ingat kejadian bodoh waktu itu.

"Waktu itu gue lagi mau pergi ke ATM narik duit, gara-gara beasiswa sekolah ditunggak sementara, nah kebetulan di depanku ada dia!" Jan menunjuk diriku yang lalu memalingkan wajah ke luar jendela.

"Gue udah tau karena temen sekamar 'kan cuman belum akrab karena kita lanjutan dari kampus yang beda kotanya," lanjutnya dengan gaya story telling yang apik.

"Terus Kak?" Ima begitu penasaran.

"Ya, gue ngikut di belakang dia sekalian ngantri, terus gue liatin deh dia pas mau narik duit, karena gue liatin terus nggak nyaman nih si Feay, terus noleh ke gue, 'kamu ngelihat apa?' katanya."

"Kakak sih kek mau ngintip Pin ATM orang aja, wajar lah," decak Iqa.

"Nggak gitu, gue liatin tuh karena gue heran," bantah Jan.

"Heran kenapa? Emang kakak ngeliat apa sih," tanya Ima.

"Gue cuma pengen liat KTP bisa narik berapa duit?"

Seketika satu meja itu pecah oleh lelucon yang dibuat oleh Jan, termasuk diriku. Hal itu masih bisa membuatku tertawa meski tidak berlebihan seperti mereka bertiga. Tiba-tiba, pelayan di balik table desk itu menyebut nomor yang Iqa pegang. Mereka bertiga pun beranjak pergi dengan masih menyisakan tawa dari lawakan tadi.

Mereka kembali dengan pesanan yang tidak sedikit di atas nampan yang mereka bawa. Terlebih lagi Ima, ia meletakkan setumpuk makanan itu ke atas meja, kemudian menggerai rambutnya yang lurus itu ke belakang telinga.

"Kamu suka ini 'kan?" tuturnya sambil memindahkan seporsi burger isi dada ayam, sekotak french fries, dan satu mangkok paha ayam goreng itu ke sisi mejaku.

Aku bangkit. "Ima, ini maksudnya apa?!"

Seketika meja kami jadi perhatian publik karena suaraku yang nyarik, termasuk Jan yang sempat berhenti mengunyah ayamnya karena kaget melihat reaksiku.

"Aku cuma nggak mau kalo kamu nggak makan," ucapnya, lalu duduk di kursi setelah semuanya beres.

"Makan nggak makan itu urusan perut aku, aku nggak laper!"

Sebab diriku sedang tidak dalam mood untuk berdebat. Aku pun keluar mencari udara segar. Sebenarnya bukan mencari udara segar betulan, aku mencari ATM terdekat, kebetulan di seberang restoran ada mesin yang buka 24 jam. Aku menyeberang jalan saat mobil cukup sepi berlalu-lalang.

Aku menarik gagang besi yang melekat di pintu kaca, lalu masuk ke dalam. Aku langsung mengeluarkan dompet di saku belakang. Tak sengaja saat membukanya, mataku menangkap dua KTP yang bukan milikku, tapi milik kedua orang tuaku. Bibirku tertahan, karena yang tersisa dari mereka di dunia hanya dua foto formal yang menempel di kartu yang selalu kubawa ke mana-mana ini.

Begitu sadar, aku menarik kartu ATM-ku dari sela dompet, dan kemudian memasukkannya ke dalam mesin. Tanganku bergerak mengecek saldonya. Terpampang jelas angka 0 di tampilan layar yang dominan berwarna biru. Entah rasanya ada sekelebat rasa dengki penuh iri di dalam sanubari. Aku bukannya iri dengan jumlah saldo yang orang lain miliki. Aku hanya iri jika saja ada orang yang rutin mengisikan saldo ke ATM ini setiap awal bulan, bahkan jika itu berubah hanya satu digit angka saja, tak jadi masalah.

Mungkin mimpiku ini terlalu mustahil untuk jadi nyata.

oOo

"Kalau saja kamu tak melepasnya tepat waktu, yang luka sudah pasti itu dirimu."

oOo

Kali ini baru lah benar-benar aku keluar untuk mencari udara segar. Namun, tepat di seberang sana. Aku menangkap bayang Ima sedang duduk di bebatuan tanaman tepat di sisi trotoar jalan. Entah apa yang gadis itu pikirkan. Aku pun menghampirinya.

Ia menegadah ke arahku yang berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya sedikit kusam. Aku jadi merasa sedikit kasihan. Mungkin sudah dari tadi ia menungguku kembali. Aku pun duduk di sebelahnya yang diam tanpa suara.

"Ngapain?" kataku.

"Aku nggak bisa makan kalo kamu nggak makan, aku bisa nggak laper kalo kamu nggak laper," tuturnya langsung memeluk tanganku dan membiarkan kepalanya bersandar di bahuku.

Malam itu angin seperti ingin mengajak ribut. Cukup kencang. Sampai derunya yang menabrak pepohonan terdengar di telinga kami. Gemeresik daun dan suara mobil jadi bgm suasana yang sedikit ganjil itu. Meski bunyinya tidak sekeras aungan perutku dan Ima. Hingga membuat kami saling tatap dan tertawa entah kenapa.

Ima menengadah ke arah bulan, mungkin merindu kampung halaman.

"Kau bilang saat bersamaku rasanya seperti mimpi, nggak apa, jalani dan rasai. Jika nanti akhirnya kamu pulang, kamu masih bisa mengenang bagaimana indahnya rasa ini di dunia asalmu, lalu semua akan jelas, rumah mana yang bagimu pantas."

Aku melirik ke arahnya, seketika membuatku tersenyum simpul. "Ayo makan!"

Ima hanya tersenyum lebar dengan menapakkan gigi ratanya ke arahku. Mungkin hal tergila yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku adalah jatuh cinta padanya.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang