Part 8 Bermain Api
Caius menatap gedung di hadapannya. Dan tentu saja ia mengendus sesuatu yang tak beres di ruangan Aksa.
“Tuan?” Tom mempersilahkan sang tuan masuk.
Caius menoleh, masuk ke dalam mobil dengan firasat yang masih mengganjal di dadanya.“Tom?” panggilnya saat Tom sudah duduk di balik kemudi.
“Ya, Tuan.”
“Kirim seseorang untuk mengawasi Aksa Lawrence,” perintahnya. “Hanya mengawasi dari jauh.”
***
Sepanjang hari itu Jasmin berusaha melupakan apa yang terjadi di ruangan Aksa dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Rasa malu seperti menguliti wajahnya setiap kali ia mengingat apa yang sudah diucapkan pada pria itu.
Akal sehatnya telah kembali, tetapi tidak dengan keberaniannya untuk berhadapan dengan pria itu. Sekarang, ia tidak menyesali perasaannya, tetapi menyesali ketololannya.
Selama ini ia tak memiliki keberanian untuk melakukan kegilaan tersebut. Bertahun-tahun mengenal Aksa sejak pria itu masih menjadi senior ketika mereka masih berkuliah. Hingga ia bekerja di perusahaan yang ternyata adalah milik pria itu. Ia berhasil menekan kegilaannya dan memendam perasaannya tersebut.
Namun, kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang?
Jasmin tak berhenti meratapi ketololannya.
Apa yang dipikirkan Aksa tentangnya?
Apakah pria itu pikir dia sudah gila?
“A-aksa?” Jasmin tersentak kaget melihat pria itu tiba-tiba muncul dari balik pintunya tepat ketika ia memikirkan pria itu. Nyaris tak bisa menahan jeritannya.
Aksa melengkungkan senyumnya. Menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekat. Berhenti di depan meja Jasmin. Sejenak melirik jam di pergelangan tangannya. “Sudah setengah enam. Kau tidak pulang.”
Jasmin menyadarkan diri. Tergelagap ketika menyadari jam pulang sudah berlalu setengah jam yang lalu.
“Aku menunggu di depan, tetapi sepertinya kau …”
“K-kau menungguku?”Sekali lagi Jasmin tersedak liurnya. “K-kenapa?”
“Sepertinya ada yang perlu kita bicarakan, kan?”
Napas Jasmin tertahan. Wajahnya merah padam, seperti kepiting rebus yang baru saja diangkat dari air panas.
Aksa membungkuk untuk menutup berkas di meja Jasmin, mematikan komputer dan mengambil tas wanita itu yang menggantung di gantungan. “Ayo.”
Jasmin tak langsung berdiri. Aksa memegang pergelangan tangan dan ia sama sekali tak berusaha menepis. Membiarkan pria itu membawanya keluar ruangan.
Jasmin tak bertanya ke mana Aksa akan membawanya. Dan waktu yang terasa begitu lama tersebut berakhir ketika mobil berhenti di sebuah restoran.
Sekali lagi Jasmin membiarkan Aksa membawanya turun dari mobil, masuk ke dalam restoran dan duduk di salah satu meja. Keheningan tersebut masih sempat bertahan setelah keduanya memesan makanan. Aksalah yang membunuh kesunyian tersebut lebih dulu.
“Kita ke sini bukan hanya untuk makan, kan?”
Jasmin menghela napas, menumpuk keberanian yang tadi pagi berhasil dikumpulkan, tetapi sekarang tak banyak ditemukannya. Wajahnya terangkat, menatap wajah Aksa.
Senyum Aksa melengkung lembut dengan keterdiaman Jasmin. Tangannya bergerak meraih salah satu tangan wanita itu dan menggenggamnya. Jasmin sama sekali tak berusaha menepis, tetapi ia bisa merasakan kegugupan membuat telapak tangan wanita itu basah. “Aku tak akan menerkammu, Jasmin. Kenapa kau segugup ini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Ditolak Gairah Bertindak
RomanceSetelah cintanya ditolak dan dipermalukan di depan umum, Caius Amato tak menyerah untuk memiliki Jasmin Alvarendra. Bahkan menuntut balas akan wajahnya yang dicoreng oleh wanita polos yang angkuh tersebut. Di pesta pertunangan sang sepupu yang diada...