20. Black Rose

6.7K 539 5
                                    

Black Rose - Death
**
Beberapa orang yang memakai pakaian serba hitam di sekitar Ray pergi meninggalkan Ray yang masih bertinggung di samping makam yang tanahnya masih basah itu. Beberapa orang juga menepuk pundak Ray, meminta Ray untuk selalu tegar menghadapi semua ini.

Ray menatap nisan yang terukir itu. Dielusnya nisan itu.

"Yang sabar, ya, Kak Ray," kata Martha—sepupunya—menepuk pundak Ray.

Ray mengangguk pelan. Matanya masih menatap nisan.

"Ray, kita gak tahu harus gimana. Pokoknya lo harus kuat, ya," kata teman sekelasnya Ray.

Ray mengangguk lagi. Dia mendesah. Anehnya, air mata tak muncul di pelupuk matanya. Tapi hatinya hancur.

"Ray, kamu gak mau pulang?" tanya Yulia yang hendak pergi sambil menggandeng Tania.

Ray mendongak dan melihat dua keluarga Bunga. "Aku belum mau pulang, Tante."

"Kalau gitu, kami pulang, ya, Ray. Kamu yang kuat," kata  Yulia mengulas senyum tipis yang dipaksakan lalu pergi dengan Tania.

Kini di makam itu hanya tinggal Ray seorang diri. Ray menatap bunga-bunga di tanah basah itu. Apa karena dia selalu kehilangan orang yang disayanginya jadinya dia tidak bisa menangis lagi?

Ray mengeluarkan sebuah bunga mawar dari saku kemejanya. Dia memutar bunga mawar itu sambil memperhatikan tiap sisi kelopaknya, mencari apa ada bagian yang cacat atau tidak. Setelah memastikan jika mawar itu sempurna, Ray meletakkan mawar di atas makam.

Dia bangkit dan matanya masih menatap makam. Dia tatap lagi mawar yang ia letakkan. Mawar hitam.

"Selamat jalan, Fian," ucap Ray setelah menarik napas berat.

Dia akhirnya berjalan meninggalkan makam Fian yang berada di dekat makam keluarganya dengan langkah gontai sambil menggelung lengan kemejanya hingga saku.

*

Ray berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan pelan. Matanya menewarang ke depan. Pandangannya kosong. Jika ada orang yang berjalan melewati Ray, pasti akan bingung dengan sikap Ray. Ray sendiri juga bingung dengan dirinya sendiri.

Dia sedih melihat kakak tirinya yang dikuburkan kemarin. Hatinya hancur melihat sang kakak yang ternyata telah tiada. Tapi... apakah dia jahat jika dia merasa cukup lega mengetahui kakaknya meninggal? Karena itu artinya dia bisa hidup dengan damai dan tak ada lagi yang akan menyiksa dirinya atau Bunga. Walau pun Fian adalah kakak yang jahat, Ray masih menganggapnya sebagai kakak.

Bunga. Ah, cewek satu itu. Ray cukup lega mendengar dokter mengatakan jika Bunga hanya kekurangan darah dan ada sedikit pergeseran di sendi lututnya, tulang di kakinya yang bergeser dan tempurung lutut yang sedikit retak yang membuat Bunga sedikit pincang untuk sesaat dan harus berjalan memakai tongkat.

Memikirkan Bunga membuat Ray tersenyum sendiri. Bunga yang awalnya adalah cewek manja yang teledor, kini berubah menjadi cewek tangguh pemberani. Entah bagaimana bisa, tapi Ray takjub melihat perubahan itu. Ya... walau pun Bunga masih saja lari tunggang langgang ketika melihat badut.

"Bunga masih belum sadarkan diri," kata Yulia ketika Ray sampai di depan ruang inap Bunga.

Ray mendengar itu hanya mendesah. Sudah hampir lima hari Bunga belum siuman. Dokter bilang jika Bunga sudah melewati masa kritisnya. Hanya menunggu Bunga siuman saja.

Ray duduk di kursi panjang di koridor setelah Yulia pamit untuk pergi ke kafetaria. Pikirannya kembali pada minggu lalu tepatnya saat kejadian itu.

*

 "Lepaskan dia. Dia gak ada sangkut pautnya dengan kita!" teriak Ray sambil berjalan mendekat dengan langkah kecil.

Blossom EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang