"Lo pada nggak bisa kalem dikit, ya?"
Pertanyaan Gavin tersuarakan begitu pintu tertutup. Dia meraih satu-satunya bungkusan nasi yang masih terikat karet di meja depan TV, lalu duduk bersila di samping Irham. Belajar dari pengalaman setelah nyaris tiga belas tahun berteman, makan di samping Irham adalah tempat paling aman. Lihat saja, Adnan dan Fajar sedang memperebutkan lauk dari bungkusan masing-masing.
"Gebetan baru, Gav?" tanya Fani. "Tumben selera lo berubah drastis gitu. Mau tobat, ya?"
"Dih, si Fani bacotnya parah," ledek Fajar di tengah kunyahan. "Tapi, iya, sih. Tumben banget si Gavin gebet cewek kalem yang bajunya nggak kurang bahan. Sampai terpesona gue tadi. Aura keibuannya terpancar, jadi pengin gue lamar."
"Beuh, lo lebih bacot!" seloroh Adnan seraya meraup ikan milik Fajar.
"Lo bangke!" balas Fajar dengan tangan yang sigap menyelamatkan lauknya.
Diam-diam Gavin menyembunyikan senyumnya, inilah yang membuat suasana kantor selalu menyenangkan: dia punya teman-teman ajaib. Meski terlihat gemar bercanda, sebenarnya mereka semua sangat bertanggung jawab. Genap dua tahun sejak peluncuran Thumb A Ride dan perkembangan mereka bisa dikatakan sangat pesat. Gavin bahkan sudah mendapat beberapa tawaran dari berbagai investor yang tertarik pada usahanya itu. Namun, saat ini dia masih terbelit masalah dengan investor sebelumnya, jadi penawaran-penawaran itu harus menunggu sedikit lebih lama.
"Eh, Gav, serius nanya gue." Fani kembali angkat suara. "Kok, lo ngegebet cewek baik-baik, sih?"
"Memang biasanya gue gebet cewek nggak baik?"
Fani mengangkat bahu. "Lo, kan, demennya cewek yang bisa diajak nakal."
"Gila, sadis si Fani!" Tawa Adnan terurai. "Tapi jujur, sih. Lanjutkan, Fan!"
Fajar mendesah, wajahnya menampilkan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Jangan dirusak anak orang, Gav. Masih polos itu kelihatannya."
"Ham, potong aja gaji mereka," ucap Gavin kepada Irham yang memang bertanggung jawab di bagian keuangan.
"Idih, main kekuasaan!" seru Fajar tak terima. "Gue laporin ke Komnas Perlindungan Anak, nih."
Adnan tersedak nasi padangnya. "Najis!"
Mereka tertawa. Selama sesaat saling melemparkan ejekan, sebelum Fajar mengembalikan Laisa sebagai topik utama pembicaraan.
"Gue merestui lo sama Laisa, Gav," ujarnya sok bijak. "Biar berkah nih usaha kita, harus mulai dari akhlak pemimpinnya. Kalau lo tobat, berada di jalan yang benar, niscaya Thumb A Ride bisa mengalahkan semua rival!"
"Setuju!" sahut Fani.
Adnan mengangguk-angguk. "Semoga dimudahkan jalannya, Pak Gavin."
Mendengar itu, Gavin menggelengkan kepala. Gaya hidupnya mungkin menimbulkan kecemasan pada orang-orang terdekatnya, tetapi Gavin masih memiliki batasan. Dia sudah pernah melakukan kesalahan fatal bertahun-tahun lalu, jadi sebisa mungkin dia berusaha untuk tidak mengulanginya. Tidak perlu terlalu peduli pada tanggapan orang, meski sebenarnya Gavin tidak seburuk yang terlihat. Selama dia tetap berada dalam batas-batas yang dibuatnya, maka semua akan baik-baik saja.
Gavin sendiri yang memastikan bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja.
***
Laisa sedang mengetik pesan ketika Jana datang ke mejanya.
"Gimana, La? Jadi ganti rugi?"
Menjawab pertanyaan Jana, Laisa menggelengkan kepala. "Dia bilang, nggak usah. Terus gue lumayan lama, kan, di kantornya ... itu anak-anaknya sumpah ajaib semua, Jan. Ada yang goyang dangdut, main game di jam kerja, terus si Gavin juga nyantai banget ngantor pakai sandal jepit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Painting Flowers (Pain Series #1)
RomanceSetelah belasan tahun menjalin hubungan, Laisa harus merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan lain karena satu alasan sederhana; Laisa tidak bisa menjadi ibu rumah tangga. Menjadi tulang punggung keluarga sejak kematian sang ayah dengan adik ya...