Anjana Irya: La, titip kopi boleh? Rame banget antrean lift.
Laisa mengangkat alis setelah membaca pesan yang dikirim sahabatnya. Jam makan siang sudah selesai, sementara dirinya masih menyusuri trotoar menuju kantor karena rapatnya berlangsung lebih lama dari jadwal. Pas sekali pesan dari Jana itu masuk ke ponselnya.
Laisa segera membalas, sibuk mengetik seiring langkahnya yang memasuki gedung. Tiba-tiba ponselnya menubruk punggung seseorang. Untung tidak sampai jatuh, sebab Laisa baru membeli ponsel setelah yang lama mengembuskan napas terakhir karena dipakai selama empat tahun.
"Sori!" pekik Laisa. Kepanikannya mereda ketika melihat orang di hadapannya adalah Gavin. Sebagai gantinya, Laisa mengembangkan senyum. "Hai, Gav. Sori nabrak lo lagi."
Gavin tersenyum tipis, lalu berkata, "Jangan jalan sambil main HP, itu ceroboh dan ngebahayain banyak orang."
Meski tahu ucapan Gavin benar, Laisa merasa agak sedikit keki mendengarnya. Apalagi Gavin juga melangkah menuju kedai kopi yang terletak di lobi. Akhirnya Laisa berdiri canggung di belakang Gavin, mengantre sambil mengirim chat kepada Jana. Sialnya, Jana sudah tidak online dan tidak membalas pesannya lagi.
"Baru selesai makan siang?"
Pertanyaan itu membuat Laisa terkejut. Dia mengerjap seraya mendongakkan kepala, tidak yakin dirinya yang ditanya. Namun, saat melihat Gavin memutar tubuh ke arahnya dan jelas-jelas sedang menatapnya, Laisa segera menjawab.
"Iya," jawabnya. "Lo?"
"Baru datang," sahut Gavin santai.
Laisa menyipitkan mata. "Is it the benefit of being a founder?"
"You can say so."
Tanpa bisa ditahan, Laisa berdecak dan Gavin tertawa.
"Thumb A Ride itu cara kerjanya gimana?" tanya Laisa. "Maksud gue, bidangnya apa? Eh, jelas transportasi, ya. Tapi mirip ojek online gitu atau gimana?"
Gavin mengambil satu langkah maju karena antrean memendek sebelum menjawab, "Lebih ke nebeng sih kasarnya, buat sekarang rutenya masih Jabodetabek, biarpun kebanyakan Jakarta-Bogor atau sebaliknya dan kendaraannya roda empat. Misalnya, rumah lo dan gue di Bogor, terus kantor kita sama-sama di Jakarta. Gue bawa mobil sedangkan lo enggak, nah lo bisa nebeng di mobil gue dengan harga relatif murah dengan fasilitas yang nyaman. Totally secured 'cause we have the app and totally working. Kami sudah punya hampir 300.000 users."
"Ide awalnya lo dapat dari mana?" Laisa benar-benar tertarik. Mungkin dia bisa mengunduh aplikasi Thumb A Ride nanti dan melihat apa ada yang bisa memberinya tumpangan dari rumah ke kantor, begitu pun sebaliknya. Berdesakan di TransJakarta setiap hari cukup menguras tenaga.
"Padatnya Commuter Line." Gavin terkekeh. "Pernah coba naik? Hari kerja, pas jam pulang kantor?"
Laisa menggeleng. Dia pernah mengantar Sabrina untuk tur di Universitas Indonesia menggunakan Commuter Line, tetapi mereka pergi di hari Sabtu. Itu pun mereka selalu berdiri baik saat berangkat maupun pulang. Tidak terbayang sepadat apa gerbong-gerbong kereta di hari kerja.
"Gue dulu anker—anak kereta—karena rumah gue di Bogor, sementara kantor di Jakarta Selatan. Kadang gue terlalu malas buat bawa mobil, apalagi isinya cuma gue sendiri, jadi ngerasa bersalah karena nambah polusi dan ikut berpartisipasi menciptakan kemacetan. Tapi naik kereta pun nggak nyaman, terlalu sesak dan kadang sampai tahap bahaya." Gavin menarik napas, lalu melanjutkan, "Pernah kejadian ada ibu-ibu keinjak-injak di peron pas turun dari gerbong khusus wanita. Gue lihat dengan mata kepala sendiri. Memang gue sering dengar gerbong khusus wanita lebih barbar, but hearing and seeing are two different things. Selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelahnya, gue masih kebayang ibu-ibu itu. Gue ... khawatir bakal ada banyak kejadian semacam itu. Atau malah memang sudah banyak dan yang gue lihat cuma satu di antaranya. Akhirnya gue bangun Thumb A Ride dan resign dari kantor lama."
Jika sebelumnya Laisa hanya tertarik, kini dia benar-benar takjub. Sebagai pengguna transportasi umum, dia tahu dengan pasti proses berdesak-desakan yang setiap hari harus dijalani penggunanya. Memang sudah marak ojek online, tetapi untuk jarak yang terlalu jauh akan menghasilkan biaya cukup mahal. Laisa dan mungkin ribuan pekerja di ibu kota harus menghemat biaya transportasi hingga maksimal, demi anggota keluarga yang harus mereka hidupi di rumah.
"I'll definitely download your app," ucap Laisa dengan senyum lebar. "It was amazing what you did, Gavin."
Gavin balas tersenyum, mati-matian menahan reaksi aneh yang muncul karena senyum gadis itu. Ini bukan kali pertama dan Gavin mungkin harus mulai mempertanyakan kesehatan jantungnya. Tentu, dia tidak memungkiri Laisa adalah gadis yang menarik. Namun, dia juga tidak lupa pada kenyataan bahwa gadis itu sudah dimiliki pria lain. Seberengsek-berengseknya Gavin, dia tidak akan terlibat dalam perselingkuhan.
"Not just me, 'cause there's Fajar, Irham, Fani, and Adnan too. Also our IT team and many more," sahut Gavin kemudian. "We still have a long way to go, La, but thanks. We need every support we can get."
"Ahem."
Dehaman sukses itu memutus kontak mata antara Gavin dan Laisa. Di belakang mereka berdiri Rama dengan wajah yang tidak bisa dikatakan ramah.
"Rama!" panggil Laisa terkejut, tetapi ekspresi senang mulai mewarnai wajahnya. Sudah satu minggu sejak pertemuan terakhir mereka. "Kamu ada meeting di sini hari ini? Kenapa nggak ngabarin aku?"
"Kalau kamu berhenti main mata sama cowok lain dan cek HP kamu, mungkin kamu bakal tahu," sahut Rama tajam.
Senyum Laisa luruh, sementara Gavin mengerutkan kening. Dia tidak suka mendengar nada bicara Rama, apalagi kalimatnya yang mengandung tuduhan tidak berdasar. Namun, Gavin sadar, dia tidak bisa menegur Rama karena mungkin akan menimbulkan keributan lebih parah.
"We were just talking," balas Laisa kemudian. Kedua pipinya memerah, malu atas ucapan Rama. "Kamu ada meeting sama tim Gavin?"
"Ya," jawab Rama pendek.
Tiba giliran Gavin untuk memesan, tetapi dia sudah tidak begitu menginginkan kopi. Gavin mempersilakan Laisa maju dan pergi menuju kantor lebih dulu, membiarkan sepasang kekasih itu bicara tanpa kehadirannya. Gavin hanya memberikan satu anggukan kepada Rama, tidak menoleh lagi ke arah Laisa karena tidak ingin memperkeruh suasana.
Gavin seharusnya tahu lebih baik daripada siapa pun, rasa cemburu memang kadang sekonyol itu.
***
"Kamu jelas-jelas flirting sama dia, La," tuduh Rama entah untuk yang keberapa kalinya dalam lima menit terakhir.
"Rama, kami cuma ngobrol biasa," ulang Laisa entah untuk yang keberapa kalinya juga. Gadis itu mendesah, mulai memijit pelipisnya yang berdenyut. Belakangan, setiap kali merasa frustrasi, kepalanya akan melahirkan rasa sakit. "Lagian aku sudah punya kamu, buat apa aku flirting sama cowok lain?"
"Yeah, you tell me," sahut Rama sengit. "Karena kita lagi break, kan? Kamu jadi ngerasa bebas buat ngelakuin apa pun yang kamu mau?"
Laisa menggeleng. Dia tidak mau membicarakan hal ini kala Rama sedang emosi. Percuma. Mereka justru akan bertengkar semakin parah.
"We talk about this after your meeting, Ram," ujar Laisa. "Kamu selesai jam berapa?"
Tanya itu tak terjawab karena panggilan masuk ke ponsel Rama. Tanpa mengucapkan apa pun, pria itu berjalan keluar dari kedai kopi dengan ponsel menempel ke satu telinga.
Meninggalkan Laisa yang menghela napas dengan keras di belakangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Painting Flowers (Pain Series #1)
Storie d'amoreSetelah belasan tahun menjalin hubungan, Laisa harus merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan lain karena satu alasan sederhana; Laisa tidak bisa menjadi ibu rumah tangga. Menjadi tulang punggung keluarga sejak kematian sang ayah dengan adik ya...