Pertandingan basket three on three itu menjadi awal dari kisah Rama dan Laisa. Ketika kompetisi basket antar-SMA dimulai, Rama terpilih menjadi anggota tim inti. Walau dia masih kelas sepuluh, tubuhnya yang tinggi memberi keuntungan, selain kemampuan menembak tiga angkanya yang hebat.
"Go, Rama!" jerit Laisa. Meski tahu jeritannya tenggelam di antara sorakan dalam GOR sore itu, dia tetap memberi semangat untuk pemuda yang telah mencuri hatinya.
Lengan Laisa disenggol. Ketika menoleh, dia disambut tatapan menggoda dari Kak Putri, kapten pemandu sorak.
"Lo naksir banget sama Rama?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling. "Buruan tembak, nanti keduluan cewek lain. Setahu gue ada anak cheers dari kelas sebelas yang suka juga."
Wajah Laisa terasa memanas. "Kelihatan jelas ya, Kak?"
Putri tertawa. "Dari kompetisi ini dimulai, yang lo teriakin namanya Rama doang! Belum lagi setiap beres latihan dance, lo selalu nangkring dulu di lapangan basket, curi-curi pandang ke Rama. Jelas kelihatan, La."
Laisa meringis. Rama memang pemuda pertama yang berhasil mencuri perhatiannya. Sejak permainan basket mereka itu, Rama selalu menghuni pikiran Laisa. Dia bahkan sering mencari alasan agar bisa lewat di depan kelas Rama, sekadar melihat pemuda itu. Kadang Rama menangkap pandangan Laisa dan melempar senyum, meski seringnya Rama terlalu sibuk dengan ponsel atau teman-temannya.
Laisa mungkin menjadi pemandu sorak sebagai ekstrakurikuler, tetapi dia jauh dari kategori populer. Berbeda dengan Rama yang menjadi favorit hampir semua orang. Selain tampan dan jago bermain basket, Rama juga terkenal ramah. Dia tidak pelit membagi senyum. Satu hal yang sampai hari ini terus membuat Laisa menyukai pemuda jangkung itu.
Sorakan heboh terdengar, membuat Laisa kembali melihat ke lapangan. Tim basket sekolahnya sedang merayakan bertambahnya poin. Tiga angka. Sudah pasti Rama yang melakukannya. Tanpa sadar, Laisa tersenyum melihat wajah gembira Rama. Permainan terus berlanjut hingga peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan. Sekolah Laisa dinyatakan menang dan masuk ke babak perempat final.
Gadis itu ikut berseru riang bersama teman-temannya. Tidak dia sangka, Putri menariknya menuju lapangan. Beberapa anggota pemandu sorak lain dengan cepat mengikuti, membuat Laisa tidak bisa kembali ke pinggir lapangan dengan cepat.
"Kak! Lepas, dong," pinta Laisa memelas.
Sayangnya, setelah Putri melepas tangan Laisa, dia sudah berada di hadapan Rama. Pemuda jangkung itu mengerjap ketika melihat Laisa, sebelum akhirnya tersenyum.
Sial! Senyumnya itu yang selalu membuat Laisa lemah dan jadi kehilangan kata. Singkatnya, Laisa berubah menjadi bodoh jika berada di hadapan Rama. Namun, bukankah semua cinta pertama membawa dampak serupa?
"Rama! Gila lo! Tembakan terakhir tadi nyaris banget!"
Seruan itu diikuti rangkulan dari Bagas, kapten tim basket. Rama pun mengalihkan perhatian dari Laisa. Sambil menghela napas lega, Laisa membalikkan tubuh dan berusaha membelah kerumunan untuk mencapai pintu ke luar. Tepat setelah Laisa menyingkir dari lapangan, seseorang menyerukan namanya.
"La! Laisa!"
Menoleh, gadis itu terkejut menemukan Rama berlari menghampirinya. "Kenapa?" tanya Laisa.
Rama berusaha menenangkan laju pernapasannya. Laisa memberi pemuda itu waktu dan mereka berdiri di depan pintu ke luar GOR dengan jarak tak sampai satu langkah. Sedekat ini, Laisa bisa melihat manik mata hitam Rama dengan jelas.
"Lo pulang sama siapa?" tanya Rama.
Butuh beberapa detik bagi Laisa memahami pertanyaan itu. Rama buru-buru menambahkan, "Gue kemarin lihat lo di halte, tapi pas gue mau panggil, lo sudah keburu naik angkot. Kayaknya rumah kita juga searah. Mau bareng gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Painting Flowers (Pain Series #1)
RomanceSetelah belasan tahun menjalin hubungan, Laisa harus merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan lain karena satu alasan sederhana; Laisa tidak bisa menjadi ibu rumah tangga. Menjadi tulang punggung keluarga sejak kematian sang ayah dengan adik ya...