Break

478 52 9
                                    

"Halo, Sayang." Laisa menyapa Rama begitu masuk ke mobil pria itu.

Rama meletakkan ponsel dan memberi Laisa senyum. Sejak dulu hingga sekarang, senyum itu selalu membuat Laisa kembali jatuh cinta kepada Rama. Sore ini, Rama mengenakan kemeja berwarna biru muda dengan celana jin. Kantor periklanan tempat kekasihnya bekerja tidak mewajibkan karyawannya mengenakan baju resmi, sama seperti kantor Laisa.

"Gimana kabar kamu hari ini?" tanya Laisa begitu Rama melajukan mobil. "Ada yang seru?"

"Biasa aja," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Kamu?"

Laisa pun menceritakan perihal kenaikan jabatan yang dia terima. Dengan wajah dipenuhi senyum juga perasaan senang yang menggebu-gebu, Laisa menjelaskan segalanya kepada Rama. Anehnya, Rama tidak memberi respons apa pun.

"Rama? Kamu dengar aku?" tanya Laisa kemudian.

"Ya," jawabnya.

"Kok, diam aja?" sahut gadis itu bingung.

"Aku...." Rama mendesah, lalu melanjutkan, "Ada yang mau aku omongin. Nanti aja setelah kita makan."

Kalimatnya membuat jantung Laisa berdegup kencang. Apa ini saatnya Rama melamar? Pembicaraan mengenai pernikahan sudah lama muncul di antara mereka, tetapi baik Laisa maupun Rama masih sama-sama nyaman dengan keadaan sekarang. Laisa jelas tidak akan menolak jika Rama melamar, hanya Laisa akan meminta sedikit waktu. Setidaknya sampai dia selesai beradaptasi dengan jabatan barunya.

Rama menghentikan mobil di restoran steak langganan mereka. Laisa ingat, mereka pertama kali datang ke sini pada perayaan satu tahun pacaran. Berselang beberapa hari setelah ulang tahunnya ke-17. Laisa menyadari, segala hal berkenaan Rama selalu membawa kenangan manis. Tentu saja mereka pernah bertengkar, yang biasanya disebabkan ketidakmampuan Rama untuk mengusir gadis-gadis yang memujanya, tetapi selain dari itu hubungan mereka benar-benar menyenangkan.

Terlebih setelah kepergian papa Laisa yang membawa perubahan besar, menjadikannya tulang punggung keluarga dengan adik yang masih harus dia sekolahkan. Rama tetap berada di sisinya, terus memberi dukungan tanpa batas. Laisa tidak bisa membayangkan akan semuram apa hidupnya jika dia tidak memiliki Rama.

Setelah memesan, Rama kembali mengecek ponsel. Hal ini merupakan kebiasaan barunya selama tiga bulan terakhir. Laisa sudah bertanya beberapa kali, apa ada sesuatu yang penting? Namun, Rama selalu menggeleng dan menjawab hanya pekerjaan. Laisa pun tidak mengusik, di antara semua orang seharusnya dia paling mengerti betapa penting suatu pekerjaan, tidak peduli seremeh apa pekerjaan itu.

"Sayang, kamu tahu nggak?" tanya Laisa membuka percakapan.

"Hm?"

"Jana bilang aku harus hati-hati. Takut kamu diambil sama cewek gatel," ucap Laisa diiringi tawa geli.

Rama menatap Laisa. Keningnya berkerut.

"Jana bilang begitu?" tanyanya.

Laisa mengangguk, lalu mengibaskan tangan. "Dia memang suka asal ngomong. Lucu aja dengarnya. Secara kamu yang dia omongin. Aku sama kamu lebih dari sepuluh tahun. Kayaknya aku lebih kenal kamu dibanding diriku sendiri."

Pesanan mereka datang dan sesaat tidak ada percakapan. Karena sudah tidak sabar, Laisa pun kembali membuka suara.

"Jadi, kamu mau ngomongin apa sama aku?" tanyanya dengan nada ringan. Tentu, Laisa harus memaksa suaranya tidak terlalu bersemangat. Apabila Rama benar-benar akan melamar, Laisa ingin sedikit mengerjainya dengan pura-pura berpikir. Laisa rindu melihat wajah ragu pacarnya itu.

"Aku mau minta break."

Tangan Laisa yang sedang memotong daging terhenti. Dia tatap Rama dengan wajah yang pasti terlihat tidak mengerti.

"Maksud kamu?" tanya Laisa.

Rama menghela napas, lalu menjawab, "Aku butuh waktu buat sendiri dulu, La. Seperti yang kamu bilang, kita sudah lebih dari sepuluh tahun sama-sama. Aku ... ada sesuatu yang harus aku lakuin dan aku nggak bisa ngelakuin itu dengan status sebagai pacar kamu."

"Kamu ngomong apa, sih, Ram?" sahut Laisa, tanpa sadar nadanya meninggi. "Kamu mau putus?"

Pria itu menggeleng. Ekspresinya tetap tenang. "Aku minta break, Laisa. Waktu buat kita istirahat."

"Mau dipakai buat apa waktu istirahat kamu itu?" kejar Laisa.

"La, please."

Laisa terdiam. Dia letakkan pisau dan garpu di atas meja. Selera makannya sudah terbang entah ke mana. Jantungnya berdebar cepat, kali ini bukan atas alasan yang menyenangkan.

"Kita butuh waktu buat sendiri, La," jelas Rama kemudian. "Aku ngelakuin ini bukan karena aku sudah nggak sayang sama kamu, tapi aku benar-benar mau istirahat. Aku harus fokus sama pekerjaanku. Aku yakin kamu juga begitu, apalagi dengan promosi kamu. Cuma sementara, La."

Kedua tangan Laisa mengepal erat. Ada rasa kecewa yang amat besar menyisip ke dalam hatinya. Bukan ini yang dia harapkan akan diminta Rama. Laisa pikir Rama akan memintanya menjadi teman hidup, alih-alih yang dia dapat keinginan Rama untuk istirahat dari hubungan mereka.

"Apa aku ada salah sama kamu?" tanya Laisa dengan suara lebih lunak. "Kalau memang begitu, tolong bilang supaya aku bisa perbaiki. Kita—"

"Kamu nggak punya salah apa-apa. Aku benar-benar cuma butuh istirahat." Rama memotong tandas.

Laisa menarik napas dalam-dalam. Menatap mata Rama yang membalasnya tanpa jeda. Sepanjang hubungan mereka, baru kali ini Rama meminta break. Biasanya selalu Laisa yang meminta. Laisa bahkan mengucapkan kata putus beberapa kali di awal hubungan mereka, termasuk pada masa LDR yang mereka lakukan ketika kuliah. Kini, Laisa merasa sangat egois jika tidak menyetujui keinginan Rama. Pria itu sudah banyak bersabar dan mengalah sepanjang masa pacaran mereka.

Mungkin, mereka memang membutuhkan waktu untuk sendiri sebelum melangkah lebih jauh lagi.

"Oke," jawab Laisa akhirnya.

"Thank you, La," sahut Rama. Senyum lebarnya terulas dan mau tak mau, Laisa pun membalas senyumnya.

***

Painting Flowers (Pain Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang