Uno Game

187 33 0
                                    

Laisa Reifanna Octa: Ram, kamu udah selesai meeting?

Laisa Reifanna Octa: Lets talk about us.

Ditunggu hingga satu jam setelahnya, pesan Laisa tetap tidak berbalas. Gadis itu memperkirakan waktu satu hingga dua jam untuk rapat antara Rama dan tim Thumb A Ride, lalu mengapa Rama belum membalas pesannya? Apakah rapatnya memang berlangsung lebih lama dari perkiraan Laisa?

Atau Rama sengaja tidak membalas pesannya?

Tanpa pikir panjang, Laisa meraih ponsel dan melangkah menuju kantor Thumb A Ride. Dia mungkin akan menyesali tindakan gegabahnya ini, tetapi dia paling tidak suka bertengkar dengan Rama. Masalah mereka sepele, Laisa yakin hanya kecemburuan biasa, yang harus segera mereka luruskan agar tidak melahirkan masalah lain. Gadis itu sudah memiliki cukup banyak masalah untuk diurusi, tidak perlu tambahan lagi.

Sayang, ketika Laisa sampai di tujuan, dia hanya menemukan tiga sosok di dalamnya. Tidak ada Rama. Sayangnya lagi, Fajar melihat kedatangannya dan menyambut dengan membukakan pintu lebar-lebar.

"Laisa!" Senyumnya tak kalah lebar dari daun pintu yang dibukanya. "Pas banget! Kami butuh satu orang tambahan."

Meski tidak mengerti arti ucapan Fajar, Laisa tetap melangkah masuk. Dua pasang mata menatapnya penuh tanya dari tempat mereka duduk mengelilingi meja. Ada tumpukan kartu di hadapan mereka dan Fajar mengajak Laisa bergabung.

"Kami mau main Uno," jelas Fani sambil menepuk tempat kosong di sisinya. "Sini, La. Ikut main."

Laisa mencoba menjelaskan maksud kedatangannya. "Jadi, sebenarnya gue—"

"Ya elah, La! Buruan duduk! Tuh, kartunya ambil," sela Fajar. "Keburu Irham sama Gavin balik, ribet urusan. Mereka tuh nggak suka lihat kita senang."

Laisa ingin mendebat bahwa ini memang bukan waktunya bersenang-senang. Masih tersisa dua jam hingga waktu pulang, jadi seharusnya mereka semua sedang bekerja sekarang alih-alih bermain Uno.

"Tapi—"

"Gue jalan duluan!" Fani berseru seraya membanting kartunya ke tengah meja.

Adnan berdecak. "Baru juga mulai." Dia mengambil satu kartu dari tumpukan dan terkekeh senang setelahnya.

"Anjir, dapat plus empat deh dia pasti," gerutu Fani.

"La, lo jalan," tegur Fajar.

Laisa meneliti kartunya, melirik angka enam berwarna biru yang harus dia tutup dengan kartu serupa, akhirnya dia mengeluarkan kartu dengan angka sama meski warna berbeda. Fajar bergerak cepat dengan melemparkan beberapa kartu berangka enam juga.

"Memangnya main Uno harus berempat?" tanya Laisa kemudian. "Kayaknya berdua atau bertiga juga bisa."

Fani melempar kartu berwarna hitam dengan "+4" tertera, lalu menjawab, "Biar ramai. Memang lo mau ngapain ke sini?"

Adnan bersiul seraya meletakkan kartu serupa miliknya, membuat Laisa berdecak karena dia tidak punya kartu seperti itu dan harus mengambil delapan kartu dari tumpukan.

"Wah, Laisa jadi bandar di putaran kedua," celetuk Fajar.

"Lo jalan," sahut Laisa sebelum beralih pada Fani. "Gue nyari Rama. Dia pulang kapan?"

Fani menurunkan kartunya setelah Fajar, lalu menjawab, "Belum lama. Mungkin lima belas menit sebelum lo datang. Kenapa?"

Laisa hanya mengangkat bahu dan mengambil giliran. Seharusnya dia mengejar Rama, atau minimal menelepon pria itu, tetapi dia merasa senang bermain dengan tim TAR. Sudah sangat lama sejak dia memainkan sesuatu seperti ini. Laisa memang tidak terlalu menyukai permainan di ponsel seperti yang digandrungi banyak orang. Dulu, dia sering bermain congklak atau monopoli dengan Sabrina. Bahkan setelah Laisa bekerja, mereka masih melakukannya. Mereka baru benar-benar berhenti setelah Papa jatuh sakit. Tidak ada waktu untuk santai atau sekadar bermain, harus bergantian merawat Papa. Apalagi setelah kepergian Papa dan mereka pindah rumah, semakin hilang alasan. Ada banyak hal yang harus mereka urus sehingga main bersama tidak lagi masuk ke agenda.

"Sudah lama sama Rama, La?" tanya Fani tiba-tiba.

"Eh, itu..." Laisa menurunkan satu kartu sebelum melanjutkan, "Sekitar sebelas tahun, kayaknya. Kami satu SMA."

Fajar bersiul. "Kuat banget lo pacaran lebih dari satu dekade gitu. Gue sama tuyul satu dan tuyul dua ini juga kenal dari SMA, terus satu kampus."

"Dih, ngambil spotlight lo," seloroh Adnan. "Self-centered amat, Jar. Lagi ngobrolin Laisa ini. Ngapa lo ikut bacot?"

Fajar berdecak dan membalas, "Dih, lo nggak usah panik gitu. Gue nggak niat ngungkit soal lo yang pacaran sama Fani sepanjang SMA."

"Najis mulut lo, Jar. Demen banget ngungkit aib, ya?" sahut Fani dengan mata memelotot. Untung saja posisi duduknya berseberangan dengan Fajar, jika tidak, pasti sudah terjadi pertumpahan darah dan huru-hara.

Laisa buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Kalian kuliah di mana?"

"IPB," sahut Adnan cepat, sepertinya dia mengerti usaha Laisa untuk berkelit dari pembahasan tentang mantan. "Kami semua anak Bogor, La. Pas SMA memang saling kenal karena kebetulan satu kelas di kelas 3, tapi baru akrab di tahun pertama kuliah."

"Kenapa?" tanya Laisa. Kali ini dia memang penasaran, menilik akrabnya mereka semua yang tidak segan bergumul di lantai pada kunjungan pertama Laisa. Konsep persahabatan sedekat itu, apalagi yang bertahan selama ini, selalu membuat Laisa takjub. Dia sering mendengar masa SMA adalah masa yang indah, dia pun tidak memungkirinya. Namun, alasannya tentu berbeda. Laisa memiliki Rama, sementara tim Thumb A Ride sepertinya memiliki bibit persahabatan yang awet.

Fani menjelaskan, "Gue, Adnan, Fajar, dan Gavin satu kelas biarpun beda kasta. Kalau Fajar memang badut Ancol dari sananya, suka bikin huru-hara. Kalau gue tipe kalem—"

"Tipe bucin, kali, maksudnya," sela Fajar.

"Bacot!" hardik Fani galak. Dia kembali menatap Laisa sebelum melanjutkan, "Gavin itu anak pengusaha kaya, lingkup pergaulannya jelas beda. Nah, pas kami masuk IPB biarpun beda-beda jurusan, selama satu tahun pertama wajib tinggal di asrama. Mulanya karena cerita seram, ditambah ada kejadian aneh—yang sebenarnya teman-teman kami pada jail aja—akhirnya jadi akrab."

"Intinya Fajar ketakutan, panik, dan bikin rusuh manusia-manusia seasrama," tambah Adnan.

Fajar menimpuk teman-temannya dengan kartu yang terang saja tidak menimbulkan efek apa-apa. Fani dan Adnan terbahak.

Laisa tertawa pelan, lalu teringat satu nama yang tidak disebutkan. "Kalau Irham?"

Kini Fani dan Adnan berpandangan. Entah mengapa, tatapan dua orang itu membuat Laisa berpikir ada cerita yang lebih dalam tentang Irham. Dia pun sudah merasa Irham yang paling tenang di antara ricuhnya anggota tim Thumb A Ride, ada aura misterius yang melingkupi pria itu.

"Irham kakak kelas kami waktu SMA," ucap Fajar kemudian. "Dia sempat hilang dua tahunan sebelum akhirnya ketemu kami di kampus. Ya tadi itu, karena satu asrama."

Mengerjap, Laisa bergumam heran. "Hilang?"

Fani melempar satu kartu terakhir, menepuk tangannya, lalu berseru, "Uno game!"

"Curang si bocah nih pasti," gerutu Fajar tak terima.

"Kalah mah kalah aja, nggak usah bacot, Bang." Fani tertawa keras. "Ayo, lanjutin!"

Permainan kembali dimulai dan pertanyaan Laisa tetap tak terjawab. [ ]

Painting Flowers (Pain Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang