04.

85 19 7
                                    

•••

Jujur saja, First sangat malas untuk kembali ke rumahnya lagi. Sedikit informasi saja, First mempunyai hubungan tidak baik dengan ayahnya. Alasannya, ayah First tidak suka jika First menjadi seorang penulis. Ayahnya menginginkan First seperti dirinya, menjadi pengusaha sukses di usia muda. Tapi First sudah dewasa, dia tidak ingin ayahnya mengatur pekerjaannya apalagi mengganggu mimpi First menjadi seorang penulis.

First menghela napasnya kala melihat mobil ayahnya sudah terparkir di halaman rumah. Dengan berat langkah, First menerobos masuk ke dalam rumah enggan menolehkan kepalanya walaupun dia melewati ayahnya.

Ayah First—atau sebut saja dia Kana, menatap puteranya itu seraya tersenyum kecut padanya. "Untung saja aku memiliki dua putra yang memiliki sifat berbeda. Yang satu penurut, yang satu pembangkang. Baguslah."

Langkah First terhenti ketika kalimat itu keluar lagi dan lagi dari mulut ayahnya. Dia paling tidak suka di banding-bandingkan dengan adiknya apalagi ayahnya selalu memuji adiknya.

Iya, First anak pertama dari dua bersaudara. Dia mempunyai seorang adik yang umurnya dua tahun lebih muda darinya. Seperti yang dikatakan ayahnya tadi, William—adik First ini selalu menuruti apa yang ayahnya perintahkan termasuk mengembangkan bisnis ayahnya. William mengambil jurusan manajemen sesuai permintaan ayahnya, walau sebenarnya jurusan yang dia inginkan bukan itu.

Hubungan antara First dengan adiknya juga tidak baik, mereka tak saling tegur sapa walau tinggal dalam satu bangunan yang sama. William merasa jika dia yang paling di sayang, semua apa yang dia inginkan selalu di kabulkan oleh ayahnya.

"First, kau sudah makan?" Itu ibunya, sebut saja dia Bua.

Setidaknya dia memiliki ibu yang tidak pilih kasih seperti ayahnya. Bua selalu mendukung apapun yang kedua puteranya lakukan, terutama mimpi dari kedua puteranya.

First menoleh dan menggeleng, walaupun belum makan tapi First sudah kenyang mendengar sindiran ayahnya. "Aku tidak lapar," katanya.

Bua mengerti, dia hanya mengangguk paham. "Bagaimana penjualan buku terbarumu itu?" Tanyanya.

Kana mendecih lalu menyahut. "Apa ada yang membeli bukunya itu?"

Kedua tangan First terkepal, jika itu bukan ayahnya mungkin satu pukulan sudah mendarat di mulutnya. First tak menghiraukannya, dia tersenyum pada ibunya.

"500 buku terjual," katanya menyombongkan hasil jual bukunya di depan ayahnya.

"Hebat."

First mengangguk sambil tersenyum malas ke arah ibunya. Tak mau membahas ini lebih lama lagi, First membalikkan tubuhnya dan mulai menggerakkan kakinya menaiki anak tangga satu persatu.

Penulis itu memasuki ruangan favoritnya, kamar dan seluruh imajinasinya. Ada sekitar lima buku hasil karyanya yang baru saja terbit tergeletak di meja belajar. First menumpuknya menjadi satu dengan hati-hati agar meja itu terlihat rapi. Setelah itu First mengambil salah satu dari kelima buku itu dan membawanya ke tempat tidur.

Buku itu masih baru dan tersegel rapi dengan plastik. Sebelum membuka plastik yang membungkus buku itu, dia mengamati dengan baik-baik judul beserta sampulnya yang menurutnya cukup menarik.

"Apa yang salah menjadi seorang penulis?" Tanyanya kepada dirinya sendiri mengingat kata-kata ayahnya yang sangat tidak menyukai pekerjaan First.

"Penghasilannya cukup lumayan, aku bisa menghidupi diriku sendiri dengan hasil kerja kerasku sebagai penulis." First berbicara dengan buku itu seolah buku itu mendengarkan curahan hatinya.

•••
Khaotung baru saja akan merebahkan dirinya di tempat tidur, ponselnya berbunyi dua kali karena bosnya mengirim file foto untuk dia edit. Siang tadi pekerjaan nya diambil alih oleh Perth, jadi malam ini dia yang mengambil alih pekerjaan Perth.

The Journey (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang