07.

89 17 5
                                    

•••
Perth mengatakan jika dia pulang lebih awal, dia malas bekerja sehingga beralasan jika dia tidak enak badan, sehingga atasannya memperbolehkannya untuk pulang dan beristirahat.

Kepulangan Perth yang lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan sangat menguntungkan bagi Khaotung, setidaknya hari ini dia bisa bersama First dalam waktu yang lama. Meskipun First akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membagi pengetahuan pada adiknya, Khaotung masih bisa diam-diam memperhatikan lebih banyak penulis itu.

"Khaotung, sebelum pergi ke rumah mu, bisa antar aku ke toko buku terlebih dahulu?" Tanya First ketika keduanya siap untuk pergi dari taman.

Dengan senang hati Khaotung menganggukkan kepalanya, kesempatan seperti itu tidak dapat di lewatkan ketika menyangkut penulis yang mencuri perhatiannya. "Sayang sekali kita membawa kendaraan masing-masing," katanya tanpa sadar.

First terkekeh mendengar keluhan Khaotung, dia tidak berpikir apapun ketika kalimat itu keluar dari mulut fotografer itu. "Tidak apa-apa, lain kali kita jalan kaki, bagaimana?" Dia hanya bercanda.

"Boleh juga," Khaotung malu karena First menanggapinya, dia tidak tahu jika dia berbicara dengan lantang bukan di dalam pikirannya.

•••

Khaotung pergi ke minimarket saat First masuk ke toko buku, dia tidak terlalu penasaran dengan apa yang akan di beli penulis itu. Setelah keduanya selesai dengan urusan masing-masing, keduanya kembali ke tujuan awalnya pergi ke rumah Khaotung.

Khaotung memimpin perjalanan sementara First membuntutinya dari belakang, kebetulan keduanya sama-sama menggunakan sepeda motor. Lain kali mungkin keduanya dalam satu kendaraan yang sama.

"Perth bilang pekerjaan sudah selesai, tapi aku tidak tahu dia sudah di rumah atau belum," kata Khaotung seraya melepas helm nya memecah kecanggungan yang terjadi beberapa saat.

First mengangguk. "Aku bisa menunggu."

"Ayo masuk," ajak Khaotung yang langsung disetujui oleh First.

Adiknya sudah di rumah, dia tengah asik bermain game di ponselnya sambil tiduran di atas sofa. Khaotung langsung menegurnya memberi isyarat untuk menghentikan aktivitasnya. Walaupun Perth sempat menggerutu beberapa detik, dia tersenyum melihat siapa yang datang bersama kakaknya.

Perth bangkit kemudian menghampiri First dan memberinya salam. Perth menoleh kepada kakaknya memberi sinyal bagaimana bisa dia membawa penulis itu ke rumahnya.

Khaotung tidak terlalu memperhatikan adiknya, dia menyuruh First untuk duduk dan memberi ruang kepada adiknya untuk sedikit berbincang.

"Aku ke belakang sebentar," ujar Khaotung yang langsung di mengerti oleh keduanya.

"Senang bertemu denganmu, Kak First." Perth tidak tahu harus apa, dia mengulurkan tangannya pada penulis itu.

Perth menilai seperti nya First orang yang ramah, dia selalu tersenyum ketika Perth ajak bicara. "Kakakku pasti sudah membicarakan tentang ku."

"Sudah, jadi ingin belajar dari mana ?" First merasa jika Perth masih canggung dengannya, jadi dia memutuskan untuk membuka topik pembicaraan langsung pada intinya.

Sebelum Perth menjawab, Khaotung menghampiri mereka dengan beberapa cookies dan susu dingin yang dia bawa di nampan. Kebetulan stok cookies dan susu di rumahnya masih sangat banyak, jadi tidak salahnya digunakan sebagai suguhan untuk tamu.

"Ada biaya mentoring jika kau ingin belajar darinya," sahut Khaotung seraya mengedipkan matanya sebelah mengajak First untuk bekerjasama dengannya.

Tapi First tidak butuh yang seperti itu, dia senang bisa membagi pengetahuannya kepada orang lain. "Tidak perlu, tapi aku akan melakukan penawaran jika kau mau."

Perth langsung menoleh kepadanya. "Apa?"

"Jika kau bisa menulis satu novelet saat aku mengajarimu, kau akan mendapatkan potongan harga sebanyak 68% untuk semua karya ku, bagaimana ?" Usul First.

Perth mengangguk dengan ragu-ragu, dia saja tidak mengerti apa itu novelet. "Tentu."

"Wah, suatu kebanggaan rumah kita di kunjungi penulis yang namanya sedang naik daun." Itu Wat yang baru kembali dari luar. Ketiga pria itu sontak menoleh hampir bersamaan pada Wat yang menjadi pusat perhatian.

First tersenyum malu kemudian menghampiri Wat memberinya salam. First malu di puji berlebihan seperti itu, dia sampai tidak bisa berkata-kata.

"Ada keperluan apa kemari, First?" Tanya Wat, dia sudah tahu First bahkan sebelum keduanya bertemu.

"Perth, dia ingin menjadi penulis," sahut Khaotung. "Biasa masalah percintaan."

Wat mengerti tanpa dijelaskan lebih rinci. "Ngomong-ngomong kalian berteman ?" Wat menunjuk First dan putranya bergantian.

First mengangguk membenarkan perkataan Wat. "Keren, anakku berteman dengan seorang penulis terkenal," puji Wat lagi.

"Itu terlalu berlebihan, Paman." First menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ini terlalu berlebihan untuknya.

Wat terkekeh. "Baiklah."

"Khao, Ibumu pulang sebentar lagi, dan kakek meminta mu untuk menjemput nya di bandara," kata Wat.

Wajah Khaotung sekita menjadi masam, dia belum banyak bicara dengan First. "Kenapa tidak Ayah saja? Aku harus menemani First, Ayah."

"Tidak apa-apa, aku akan memberi sedikit dasar menulis kepada adik mu," sahut First dengan cepat.

Perth mengangguk setuju. "Iya, Kak, aku disini bersama nya."

Banyak argumen yang mendukung ayahnya, jadi mau tak mau Khaotung setuju untuk melaksanakan perintah ayahnya. "Baiklah, tapi aku pinjam mobil ayah."

"Kuncinya di kamar, ambil saja."

Khaotung pergi ke kamarnya mengambil jaket kemudian mengambil kunci mobil secara tergesa-gesa, dia harus kembali secepat yang dia bisa. "First, aku tinggal sebentar."

"Hati-hati."

"Kau menjalin kerjasama dengan Sit?" Tanya Wat setelah Khaotung pergi, agar First tidak terlalu canggung dengannya.

First mengangguk. "Paman kenal dengan Pak Sit?"

"Tentu saja, dia teman ku. Tapi kita jarang bertemu karena sama-sama sibuk."

•••
Sepanjang perjalanan Khaotung tak bisa berhenti memikirkan penulis itu, sayang sekali dia melewatkan banyak waktu dengan penulis itu.

"Aku tidak jatuh cinta padanya, tapi aku tertarik untuk berada disekitar nya," gumam Khaotung dengan pandangan fokus ke jalanan.

Khaotung sudah sampai di bandara, cukup memakan waktu, tapi itu sudah terjadi. Dia menepis semua pikiran tentang First saat menemui ibu dan kakeknya. Khaotung memeluk keduanya bergantian, dia sudah sangat merindukan mereka.

"Kau apa kabar?" Tanya Kakek Khaotung yang terlihat lebih muda dari usianya.

"Aku sangat baik," jawab Khaotung.

"Khaotung, sebelum kita pulang antar ibu berbelanja sebentar, sekalian Kakek masih ingin jalan-jalan," kata Ibunya.

Kesenangan Khaotung hanya sesaat, dia tidak bisa menolak ibunya. "Tentu," jawabnya.

"Kakek akan membelikan apapun yang kau inginkan, belikan untuk Perth juga tapi," sahut kakeknya sebagai sogokan.

Memang momen inilah yang Khaotung tunggu-tunggu, dibelanjakan oleh kakeknya, tapi bagaimana dengan First. "Terimakasih, Kakek." Khaotung kembali memeluk kakeknya.

Tidak apa-apa, Khaotung bisa membeli sesuatu untuk First sebagai permintaan maaf karena meninggalkan terlalu lama. Dia seharusnya tidak perlu seperti itu, toh urusan First dengan adiknya.

•••
To be continued.

maap pren aku upnya lama hehe, biasa waktu buat nulisnya dikit bgt 😔🥺

The Journey (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang