1.1. Maaf

1.5K 168 18
                                    

Maniknya mengerjap beberapa kali, Luca terbangun dari tidurnya, saat rungunya mendengar suara gaduh dari kamar rawatnya tersebut. Ia meringis pelan ketika mendapatkan sengatan kecil di dadanya saat akan merubah posisi, pandangannya yang masih kabur itu bisa melihat sosok ayah dan ibunya berdiri di dekat pintu kamarnya.

"Kita udah janji, buat nggak bahas itu lagi di depan Esa! Tapi kenapa Bunda bahas di depan dia?" Cecar Dimas.

"Iya, aku minta maaf soal itu Yah. Aku salah. Aku hanya nggak terima Luca dipukulin sampe kayak gini sama Esa!" Bela Yuna, ia sudah menduga jika Dimas akan membahas tentang ini kepadanya. Yuna tahu ia ingkar janji, dan ia punya alasan untuk itu.

"Tapi nggak sampe bilang kalo kamu nggak anggap dia anak Bun! Bunda nggak ngertiin perasaannya gimana setelah dia denger itu dari Bunda!" Cecar Dimas lagi, tadi Esa menangis padanya dan bercerita jika Yuna mengungkit masa lalu, hanya karena ia memukuli Luca.

Yuna menggeleng pelan. "Kenapa cuma Esa aja sih yang Ayah pikirin? Apa Ayah nggak khawatir sedikitpun dengan keadaan Luca yang sekarang? Esa udah mukulin Luca, dan aku pantas marah sama dia. Aku udah tahan buat nggak nggak gitu sama dia, tapi dia yang mancing Bunda buat membuka luka lama."

Dimas menghela napasnya kasar. "Ayah kayak gini sama Esa, karena aku merasa bersalah sama dia. Aku mau nebus semua dosaku ke dia, makanya itu aku lebih perhatian sama dia. Dan Luca sendiri, dia udah punya kita, dia nggak sendiri kayak Esa. Seharusnya Bunda bisa nahan diri buat nggak bilang gitu sama Esa, seharusnya Bunda paham posisi Ayah!"

Yuna tersenyum sedih mendengarnya. "Aku tau Ayah mau nebus semua dosa Ayah di masa lalu. Tapi, apa cara ini nggak salah? Nyatanya Ayah lupa buat kasih afeksi buat Luca. Selama ini Ayah sibuk mikirin gimana caranya buat nebus rasa bersalah itu ke Esa, sampai Ayah lupa kalo Luca juga butuh Ayah."

Jika ditanya siapa saja yang terluka, semuanya memiliki luka masing-masing. Baik Yuna maupun Dimas sendiri. Bayangkan saja, Yuna harus mengurus anak hasil perselingkuhan sang suami, bohong jika Yuna tidak merasa sakit hati dengan tingkah sang suami, butuh bertahun-tahun lamanya ia memendam sakit, sampai hadirnya Luca menjadi obat untuknya.

"Aku nggak pernah suruh kamu buat pertahanin Luca buat hidup! Kamu sendiri yang mau dia lahir Yun! Sekarang liat! Dia nyusahin kita kayak gini!"

Yuna menutup mulutnya tidak percaya, akan ucapan sang suami barusan. Matanya dengan cepat memanas, hatinya terasa sakit mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir sang suami. "A-apa nggak salah kamu ngomong gitu Dim?"

"Tentu aja nggak, aku dalam keadaan waras sekarang. Esa itu anak dari wanita yang aku cintai, sedangkan Luca? Dia ada dengan keterpaksaan," ujar Dimas tanpa beban, tidak ada sorot menyesal setelah berkata demikian dan juga menyakiti hati sang istri. "Kalo kamu sakitin Esa lagi, aku juga nggak segan-segan buat sakitin Luca nantinya."

Tanpa ingin mendengar tanggapan sang istri, Dimas melangkah pergi dari sana. Sementara Yuna, sudah terisak dan terduduk lemas di lantai. Apa arti pernikahan mereka selama belasan tahun ini, jika ujung-ujung ternyata Dimas tidak pernah menerima dirinya sebagai istri? Rumah tangga yang sudah mereka bina seolah sia-sia Yuna pertahankan.

Seharusnya Yuna meminta pisah setelah tahu Dimas berselingkuh di belakangnya sampai memiliki anak, ia terlalu dibutakan cinta sampai semua keburukan sang suami ia terima dengan lapang dada.

Di sisi lain, Luca dapat mendengar semua perdebatan kedua orang tuanya dari awal. Ia tidak paham akan pembahasan pertama mereka yang Dimas berkali-kali berujar jika Yuna tidak seharusnya membahas masa lalu pada Esa, dan mengapa sang ibu bisa sampai berkata jika Esa bukan anaknya? Apakah ada rahasia di masa lalu yang tidak ia ketahui?

Ia meremas dadanya karena rasa sakit itu kembali, bersamaan dengan Dimas yang mengatakan bahwa pria itu tidak mau mempertahankan dirinya untuk lahir. Dadanya sakit, tapi lebih sakit yang ia rasa di hatinya. Dimas berbicara secara tidak langsung, jika dirinya tidak diharapkan oleh pria itu.

Sebisa mungkin, Luca menahan erangan sakitnya. Ia tidak mau menambah kekhawatiran sang ibu yang tengah menangis tersedu itu. Seharusnya ia bisa merengkuh pundak wanita itu, namun untuk sekedar duduk saja ia tidak sanggup, Luca benci dengan dirinya yang terlalu lemah.

"Argh! Uhuk!" Erangn yang ia tahan keluar bersamaan dengan batuk yang tidak bisa ia tahan, membuat Yuna yang tengah menangis itu menoleh ke ranjang Luca, ia langsung berdiri dan berjalan mendekati sang anak yang tengah kepayahan.

"Astaghfirullah Dek, sakit lagi?" Melupakan rasa sakit yang ia rasakan sendiri, Yuna balik mengkhawatirkan sang anak yang kembali kambuh. Dengan cepat ia memencet nurse call untuk meminta bantuan, dan salah satu tangannya ia gunakan untuk menggenggam tangan sang anak dan tangannya yang lain ia gunakan untuk mengusap dada anak itu.

"M-maaf," lirih Luca, hanya kata itu yang dapat ia ucapkan, karena kehadirannya ini, keluarganya hancur.

***

Dua hari tanpa kehadiran Luca di sekolah, membuat Lio merasa kesepian. Biasanya akan ada Luca yang sibuk mencatat orang-orang yang hutang kepada anak itu dan kebiasaan Luca yang menjual pulpen-pulpennya. Walau tidak setiap hari barangnya bisa terjual, Luca tidak patah semangat.

Maka dari itu, sepulang sekolah dirinya kembali ke rumah sakit untuk menjenguk temannya tersebut, sendiri tanpa Agam seperti kemarin. Sayangnya, sampainya rumah sakit Luca tengah tertidur lelap.

"Luca kambuh lagi ya Tante?" Tanya Lio, seraya melirik Luca yang tertidur dengan bibirnya sedikit terbuka, di hidung bangirnya terdapat nasal cannula, wajahnya terlihat lebih pias dibandingkan kemarin ia menjenguk.

"Iya, demamnya juga belum turun. Maaf ya Yo," jawab Yuna, wanita itu tidak beranjak dari tempatnya setelah beberapa jam yang lalu Luca kembali mendapat serangan.

"Kata dokter gimana Tante? Apa ada hal buruk?" Tanya Lio kembali, ia lupa menanyakan hal penting ini kemarin, karena keasyikan bercengkrama dengan Luca dan Agam.

"Iya, ada hal buruk tentang kondisinya. Luca kena aritmia, katup jantungnya yang rusak juga semakin nggak bisa mompa darah. Tante sedih Yo, Luca selalu nahan sakit, tapi Tante nggak bisa bantu apapun." Yuna hanya bisa tersenyum sedih, meratapi kesakitan sang anak tanpa bisa ia bantu sedikitpun.

"Tante, Tante udah banyak bantu buat Luca selama ini. Mungkin kalo dia nggak punya ibu setegar Tante, Luca udah nyerah dari dulu. Tante tau? Luca pernah bilang sama aku, kalo Tante itu alasan pertama dia bertahan selama ini. Tante ibu terbaik buat dia," tutur Lio, ia berusaha meyakinkan jika Yuna adalah ibu terbaik yang pernah ada, dengan kenyataan seperti itu.

Yuna tersenyum simpul, ia beranikan diri untuk mengusap rambut Lio, remaja yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Tante juga sangat berterima kasih sama kamu Yo, karena udah mau jadi temen Luca, walau kamu tau dia udah ambil sesuatu yang berharga dari kamu. Dan Tante juga minta maaf, maafin Luca yang nggak bisa jaga baik-baik pemberian itu. Padahal kamu percayain Luca buat jaga, maafin Luca ya?"

[]

Lampung, 17092023

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang