3.5. Permainan selesai

2.2K 119 5
                                    

Yuna hampir pingsan ketika mendapati sang anak dalam keadaan yang mengenaskan. Anaknya itu terbaring di atas trotoar jalan, dengan mata yang tertutup dan wajah yang sangat pucat, ketika ia menyentuh tubuh itu, hawa dingin yang ia rasakan.

Yuna mendekap sang anak dengan penuh kasih sayang, berharap kehangatan dari pelukan yang ia berikan dapat membangunkan anak tersebut. Ia menangis, saat Luca tidak membalas ucapannya. Mau sekeras apapun dirinya mengambil sang anak, Luca tetap bergeming di tempatnya.

"Tenang Bun, Luca pasti baik-baik aja," ujar Dimas menenangkan sang istri, walau tak ayal jika dirinya pun merasakan kekhawatiran yang sama. Kini, Luca tengah berjuang di dalam dibantu oleh dokter, Dimas berharap sang anak tidak apa-apa.

"Bunda salah Yah, coba aja tadi pagi Bunda nggak ngizinin Luca sekolah. Semua ini nggak akan terjadi." Feeling seorang itu memang tidak pernah salah, sejak tadi pagi ia sudah tidak enak perasannya. Pikirannya terus tertuju pada Luca, anak itu tetap kekeuh ingin sekolah walau keadaan tubuhnya tidak baik-baik saja.

Jika saja Yuna melarang sang anak pergi, mungkin Luca tidak akan seperti ini. Yuna benar-benar ibu yang buruk 'kan? Ia tidak bisa menjaga sang anak dengan baik. Yuna bahkan masih mengingat, bagaimana senyum manis Luca ketika akan pergi ke sekolah, anak itu mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja, dan Yuna tak perlu khawatir.

Luca juga meminta, saat pulang nanti ibunya memasakkan makanan kesukaannya. Tapi apa sekarang? Senyum manis itu tak terlihat lagi.

"Kira-kira kenapa Adek bisa di sana Yah? Tempat itu jauh dari sekolahnya dan rumah kita. Adek nggak mungkin senonoh itu sampe main sejauh itu," ucap Yuna yang merasa heran, mengapa Luca bisa sampai di sana.

Untung saja ia dan sang suami menemukan Luca, bagaimana jika tidak. Yuna tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa Luca nanti.

"Kita cari tau sama-sama nanti ya Bun, kalo Luca udah sadar." Dimas mengelus punggung sang istri, disaat-saat seperti ini istrinya pasti sangat membutuhkan kekuatan. Dimas jadi menyesal dengan sikap egoisnya selama ini, karena sudah mengabaikan Luca sehingga sang istri harus berjuang sendiri.

Yuna mengangguk, ia tidak henti-hentinya berdo'a di dalam hati supaya Tuhan memberikan keselamatan untuk sang anak. Hingga, dokter yang menangani keluar, dan akan menjadi jawaban atas do'a-do'a yang Yuna panjatkan tadi.

Dokter tersebut menatap orang tua pasien itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, dokter itu menunduk sebelum ia berucap, "kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun maaf, pasien lebih memilih menyerah. Waktu meninggal pasien adalah pukul 00.01."

Bagai tersambar petir, Yuna tidak bisa bergerak di tempatnya, ia akan limbung ke lantai jika tidak ada suaminya yang menahan. Apa barusan dokter tadi? Anaknya memilih untuk menyerah? Tidak mungkin.

"Dokter sedang tidak bercanda 'kan? Anak saya pasti baik-baik saja 'kan? Dokter bohong 'kan? Anak saya pasti baik-baik aja!" Pekik Dimas, bagaimana bisa dokter di depannya ini mengatakan anaknya menyerah dan mengumumkan waktu kematian putranya? Dokter pasti tengah bercanda, Dikas lu bahkan masih mengingat senyum hangat Luca sebelum berangkat sekolah tadi. Luca mengatakan bahwa akan pulang dengan selamat.

Dokter tersebut menggeleng pelan, bukan saatnya bercanda dengan mengatakan waktu kematian seseorang. Ia pun merasa gagal karena tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien. Gagal jantung, itu yang terjadi pada pasiennya tadi. Remaja itu memilih menyerah daripada berjuang kembali.

Yuna menangis terisak, tangisannya mampu membuat orang-orang yang mendengarnya akan ikut merasakan kesedihan. Anak yang ia perjuangkan selama ini, pergi meninggalkan dirinya. Anaknya sudah lelah, sehingga tak mau bertahan.

***

Innalilahi wa innalilahi raji'un, telah meninggal dunia salah satu teman sekelas kita, Adelard Lutfi Candrakanta. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Al-fatihah untuk Luca

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang