2.2. Awal mula luka terbentuk

1.2K 121 16
                                    

Katanya orang jahat adalah orang baik yang tersakiti, sepertinya Luca setuju dengan ungkapan Joker tersebut. Mereka itu jahat karena tidak bisa mendapat kebahagiaan dengan cara kebaikan. Namun tetap saja, kejahatan adalah tindakan yang buruk, tidak bisa dibenarkan apapun alasannya.

"Ka, jujur aja. Lo itu benci nggak sama kakak lo?"

Luca menolehkan kepalanya ke arah Agam yang bertanya, lantas ia menggeleng pelan. "Gue pengen benci, tapi gue nggak bisa."

"Nggak usah ragu buat benci sama orang Ka, kalo benci, bilang aja," cerca Agam menggebu-gebu.

Luca tertawa pelan. "Kenapa lo kekeuh banget buat gue benci sama kakak gue Gam?" Tanya Luca balik.

Agam menggidikkan bahunya tak acuh, seraya menatap Luca yang terbaring di tempatnya. Sepertinya kondisi anak itu menurun akhir-akhir ini, dan itu adalah kabar baik untuknya. "Ya takut aja 'kan? Siapa tau gue bisa bantu lo balas dendam."

"Memangnya kalo bales dendam itu bakal nyelesain masalah ya?" Tanya Luca lagi, dirinya bahkan tidak sampai berpikir sampai ke sana. Tidak ada sedikitpun pemikirannya untuk membalaskan dendam pada Esa, walau semua ucapan dan kelakuan Esa padanya masih terekam jelas.

"Ya iyalah, karena semua uneg-uneg yang selama ini lo tahan lepas gitu aja. Mereka yang nyakitin lo, harus tau juga luka lo seperti apa," ucap Agam, berusaha untuk meyakinkan Luca jika balas dendam adalah salah satu cara yang harus dicoba.

Luca terdiam, demamnya masih tinggi dan masker oksigen yang sempat bertengger sudah berganti nasal cannula. Otaknya menimang kembali kalimat yang Agam ucapkan, mau dengan alasan apapun, Luca tahu bahwa balas dendam adalah tindakan yang salah.

"Balas dendam mungkin akan jadi opsi pertama yang bakal orang gunakan, padahal masih ada opsi yang lain selain itu. Gam, justru karena kita udah ngerasain gimana luka itu. Jangan sampai orang lain juga ngerasain apa yang kita rasain. Kita udah tau kalo sakit itu nggak enak 'kan? Jadi cukup kita aja yang terluka, jangan sampai ada korban selanjutnya. Mungkin memang terdengar nggak adil, tapi kalo kita ikhlas, insyaallah semua akan baik-baik aja," ucap Luca, sekali lagi ia mengatakan bahwa balas dendam bukanlah satu-satunya cara untuk mengobati luka. Masih ada cara lain untuk menyembuhkan luka tersebut, salah satunya adalah dengan ikhlas.

Agam menatap Luca dengan tatapan yang sulit diartikan, "kenapa lo bisa sebaik itu? Padahal luka lo menumpuk?" Tanya Agam, tangannya saling mengepal satu sama lain di bawah.

"Gue nggak sebaik itu Gam, gue juga manusia biasa yang bisa ngerasa sakit kok. Tapi ya, karena gue percaya sama Tuhan, gue nggak akan melakukan balas dendam sebagai opsi pertama,"jawabnya, jika dikatakan orang baik, Luca tak sebaik itu, karena dirinya jugaa manusia yang memiliki dosa.

"Lo ada masalah Gam?" Tebak Luca, mungkin saja Agam membawa topik ini karena cowok itu memiliki masalah dan secara tidak langsung meminta pendapat darinya.

"Masalahnya ada di lo Ka." Inginnya Agam berucap seperti itu, tapi ia menahan diri, "gue masih menyimpan dendam pada orang yang ngambil hak kakak gue Ka. Gue tau cara ini salah, gue nggak akan puas sebelum liat dia menderita kayak Kakak gue dulu."

***

Beberapa tahun yang lalu...

"Ma, tolongin Kakak. Kakak kesakitan, Agam takut." Saat itu Agam hanya bisa merengek kepada orang tuanya, agar bisa membantu sang kakak yang kesakitan.

Tapi yang ia dapatkan tidak sesuai keinginannya, orang tuanya tak acuh dan saling berpegang pada egonya masing-masing. Agam tak tahu apa yang harus dirinya lakukan, agar sang kakak mendapatkan pertolongan.

Yang bisa ia lakukan adalah menangis dan juga meminta bantuan kepada pamannya untuk membawa sang kakak ke rumah sakit. Agam selalu sedih jika kakaknya kesakitan seperti ini, namun sayangnya ia tidak bisa membantu banyak, dirinya hanya anak kecil yang masih membutuhkan bantuan orang dewasa.

"Dokter, gimana caranya Kakak sembuh? Kakak bisa sembuh 'kan?" Tanya Agam, sangat berharap dokter memberikan jawaban yang positif.

"Kita do'akan Kak Nijam sama-sama ya? Tuhan pasti bakal cari jalan yang baik buat Kakak kamu. Sekarang Kakak kamu ada di nomor satu prioritas penerima donor, kita tunggu sebentar lagi sampai donor iti ada," jelas Rendi, mensejajarkan tubuhnya dengan Agam yang duduk di kursi.

Agam mengangguk paham, walau dirinya tidak terlalu mengerti. Yang ia tangkap adalah, kakaknya masih menunggu donor itu dan setelah dapat kakaknya akan sembuh. Agam yakin itu tidak akan lama, karena kakaknya ada di nomor satu daftar penerima. "Dokter janji buat Kakak sembuh?" Katanya dengan polos.

Rendi mengangguk tanpa ragu, "dokter janji."

Hari demi hari Agam selalu menunggu kabar dari Rendi, tentang kapan sang kakak akan mendapatkan donor. Agam tahu donor itu tidak mudah didapatkan, jika ada pun belum tentu cocok. Hingga pada akhirnya, Rendi mengatakan kepadanya bahwa ada donor dan cocok untuk sang kakak, Agam yang mendengar berita baik itu senang bukan main. Baik dirinya dan sang kakak, sudah menunggu lama hal ini.

"Kak Nijam, kalo nanti udah sembuh kita naik gunung bareng-bareng ya Kak? Berdua aja, Mama sama Papa jangan diajak, Agam nggak suka," celotehnya seraya memeluk sang kakak dari samping.

Nijam yang mendengar celotehan sang adik mengangkat senyum tipis di bibirnya yang pucat, Agam adalah alasannya untuk bertahan. Nijam tak apa jika kedua orang tuanya tak peduli, tapi ia tidak bisa jika Agam pergi darinya. Agam adalah sumber kekuatannya, ia tak kan bisa bertahan jika tak ada sang adik.

"Iya, Kakak janji." Nijam mengeratkam pelukan mereka, dirinya mengecup pucuk kepala Agam berulang kali. Agam tak sabar menunggu sang kakak sembuh, karena jika Nijam sudah sembuh, dirinya dan Nijam bisa pergi kemanapun mereka mau, tanpa takut kakaknya kesakitan lagi.

"Nijam, maaf dokter harus mengatakan ini ke kamu. Selama ini kamu memang ada di daftar prioritas penerima donor, tapi saat ini kamu harus mengalah ya? Ada pasien yang lebih membutuhkan donor itu dari kamu, jika dia tidak segera mendapatkan donor itu, dia tidak akan terselamatkan."

Nijam memainkan kedua tangannya dan saling meremas satu sama lain. Tidak tahu harus merespon apa saat Rendi berkata demikian. "Tapi kenapa harus aku yang mengalah? Bukankah apapun alasannya, aku yang berhak dapet, kata dokter aku jadi prioritas di sini, aku udah nunggu lama."

Nijam tentu saja melayangkan protesnya, dirinya juga membutuhkan donor itu dan sudah menunggu sejak lama. Dirinya bertahan demi bisa sembuh, tentu tidak adil jika haknya diambil begitu saja untuk orang lain.

"Ya, tapi kamu masih bisa bertahan lebih lama, sedangkan dia sudah sekarat. Orang tua kamu juga sudah setuju, jika donor itu diberikan kepada dia yang membutuhkan. Kamu bisa menunggu lebih lama lagi Nijam."

Jujur, Nijam merasa sedih, kecewa, dan marah saat mendengarnya. Apakah dirinya adalah barang yang bisa dipermainkan seenaknya? Mengapa bisa orang tuanya begitu jahat kepadanya? Secara tidak langsung, mereka menyuruh dirinya untuk mati saja. Nijam juga ingin sembuh, bukan dia saja yang katanya sedang sekarat saat ini.

"Aku udah janji buat sembuh sama Agam, bakal sehancur apa dia kalo aku pergi? Agam nggak akan baik-baik aja," batinnya sendu, apa memang takdir tak pernah adil untuknya bahkan sampai dirinya pergi? Jika seperti ini, Nijam tidak bisa berbuat apa-apa selain ikhlas.

Terutama untuk sang adik, semoga anak itu mengikhlaskan dirinya jika pergi nanti. Dan Nijam meminta maaf, karena tidak bisa menepati janjinya.

[]

Btw kalo ada plot holenya tandain ya, aku sedikit lupa alur hehe

Lampung, 18102023

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang