10. 🌹

240 46 83
                                    







Aku sudah muak. Kupikir, teror mawar merah jahanam itu akan berakhir. Tapi pada kenyataannya, hampir sepuluh hari berlalu bunga-bunga sialan itu terus berdatangan tanpa kutahu siapa yang meletakkannya di depan pintu.

Tidak ada gunanya bertanya pada pemilik gedung. CCTV yang terpasang mati tanpa sebab yang jelas. Dan aku tidak pernah dapat menangkap si pelaku yang meletakkannya ketika bunga laknat itu mendarat di depan pintuku. Ini membuatku nyaris frustasi. Belum lagi memikirkan permintaan cutiku yang belum mendapat respon dari atasan. Sekarang, pelipisku terasa berdenyut sakit karena banyak alasan membayangi.

Jangan bilang kalau aku tidak berusaha menemukan pelakunya.

Saat bertanya pada penjaga di depan, ia langsung menggelengkan kepala. Berkata bahwa ada banyak orang yang tinggal di gedung apartemen. Banyak pula orang yang sibuk lalu-lalang. Melintasi dirinya sebagai penjaga. Dan semua orang terlihat acuh tak acuh bahkan banyak yang saling tidak mengenal antar tetangga. Jadi, apa yang bisa kuharapkan?

Aku hanya mendesah panjang. Sedikit membenarkan perkataan pemilik gedung dalam hati. Bahkan aku, hanya mengenal baik salah satu tetanggaku yang seorang pelajar putri dan kakeknya. Itu saja.
Sementara tunanganku sendiri, bersikap seolah aku menderita paranoid. Sebab tidak menemukan hal seperti yang aku tuduhkan.

"Bukankah itu mawar putih? Lalu di mana mawar merah mengerikan yang kau bilang menerormu?!"
Aku mengernyit.
Hei, bukankah dalam situasi dan kondisi ini, akulah yang sepatutnya untuk marah dan frustasi? Tapi kenapa malahan dia yang naik darah?

"Sudah kubuang." Tukasku.
"Kau kenapa sih? Apa harimu begitu buruk di kantor? Atau proyek lukisanmu tidak berjalan dengan lancar?!"
Jujur saja. Nada bicara Toneri yang meninggi ikut memancing emosiku naik ke permukaan. Memunculkan urat-urat menyembul yang tak direncanakan.

"Kenapa nada bicaramu seperti itu?"

Aku tercengang. Maksudnya?

"Apa maksudmu? Bukankah kau duluan yang meninggikan nada bicaramu?"

"Sudahlah, jangan membahasnya lagi. Kau semakin membuatku pusing." tandasnya seraya memijit pelipis. Lalu kami memutuskan untuk duduk. Berniat melepaskan emosi apapun yang terasa masih menjalar di aliran darah.

"Sejak kapan kau menjadi sedekat itu dengan pria kuning aneh, yang kau panggil temanmu?"

Aku menatapnya tajam. Mendadak saja bahasan kami berubah haluan menjadi membicarakan Naruto.

"Naruto. Namanya Naruto. Dekat seperti apa yang kau maksud? Aku dan dia hanya berteman layaknya dua orang yang saling peduli. Itu saja, tidak lebih."

"Jadi seperti itu ya, tidak lebih. Bahkan kalian menghabiskan waktu berjam-jam di kafe dekat taman, masih bilang hanya pertemanan biasa? Konyol sekali." Aku mulai tidak mengerti arah percakapan ini.
"Kau pikir aku percaya, dengan bualanmu, Hinata? Jelas-jelas ada yang salah dalam hubungan kalian. Kau selalu bertemu dengannya sepulang kerja. Katakan, apa kau diam-diam menjalin hubungan dengannya?"

Perkataan Toneri memicu ingatanku melayang pada tiga hari yang lalu. Ketika aku dan Naruto memutuskan makan siang bersama. Awalnya kami tidak berniat seperti itu, tetapi saat melihatnya seperti orang yang kelaparan, aku memutuskan untuk mentraktirnya makan siang. Jarang-jarang aku melakukan hal itu. Bisa dihitung dengan jari. Ino dan Toneri. Dua makhluk yang biasanya kuajak makan bersama. Dan sekarang bertambah menjadi tiga orang.

"Jangan berlebihan. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya saat itu. Dia satu kota dengan kita, dari Konoha. Bukankah itu bagus?" Aku membalas dengan kesabaran yang mulai menipis. Tidak terima dengan tuduhannya yang terkesan dipaksakan.
"Terlepas dari semuanya, kami hanya teman biasa. Apa kau cemburu padanya? Demi Tuhan, apa kau memata-matai segala aktivitasku?"

Noir ✔️ || NaruHinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang