Rumah besar itu menyala-nyala oleh lidah api berwana merah terang. Menjilat secara ganas apapun yang berada di sekitarnya. Kobarannya kian meninggi, menimbulkan hawa panas dan berhasil menyelimuti angkasa dengan kelambu pekat.
Hanya orang bodoh yang sekiranya betah berdiam diri menyaksikan kobaran api yang merayap mendekat. Seolah menanti ajal menjemput, kewarasan akalnya sungguh dipertanyakan di saat genting seperti ini.
Ayolah. Bahkan seorang pandir pun lebih tahu mengenai tindakan apa yang harus diambil.
Lari, lari, dan lari. Pergi sejauh mungkin mengindari kemungkinan yang terburuk dari segala yang terburuk.
Bukankah seharusnya dia melakukan hal itu jika tidak ingin terpanggang?
Namun, mengapa dia tidak berlari?Jarak api kian memendek.
Satu, dua, tiga— selangkah lagi tubuhnya akan terlalap habis jadi abu lalu lenyap di udara malam. Bersatu padu bersama desir angin.
Ugh. Hawa panasnya kian menyebar dan membuat paru-paruku serasa terbakar. Rasanya sesak dan pengap.Saat wajahku menunduk akibat merasakan panas hebat menggrogoti lenganku, serangan rasa terkejut malah menghantamku secara telak.
Orang bodoh itu ternyata adalah aku. Diriku-sendiri.
Saking terkejutnya, aku sampai tidak sempat untuk bereaksi seperti yang diperlukan. Menghindar dengan segera atau berteriak kesakitan. Semua terlalu mendadak untukku.
Sampai ada saat di mana angin dingin secara mengejutkan bertiup di sekitaran leherku. Memaksa wajahku mendongak demi menangkap sesuatu yang telah berdiri di hadapanku.
Aku tahu ini bukan kenyataan. Sepotong ilusi, barangkali juga mimpiku yang selalu mengerikan. Entah bagaimana caranya aku mampu berpikir demikian.
Sesosok gadis remaja dengan rambut terbakar sewarna lidah api berdiri murung di hadapanku. Kedua mata kelabunya tampak kosong.
Seketika tubuhku membeku dalam lingkup api yang kurasa mulai kehilangan identitas diri. Panas yang seharunya kurasakan, kini malah berganti dengan hawa sedingin balok es.Mulutnya terlihat bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Sayangnya, dersik benda di sekitarku menulikan indra pendengaranku.
Lamat-lamat saat sosok yang tidak menapak bumi itu kian mengikis jarak, barulah sesuatu tertangkap pelantang telingaku."Maaf, ini semua salahku..."
Suara tak beraturan dan berisik ini adalah irama jantungku. Organ inti yang bernaung tepat di dalam rongga dada. Lembab yang tercipta merupakan keringat yang jatuh secara bergerombol.
"Apa sesuatu terjadi lagi saat kau di alam bawah sadar?" wanita dengan garis penuh kedewasaan yang matang membenarkan letak kacamatanya. Dia menyambung lagi, "ini membutuhkan waktu yang agak lama daripada biasanya. Katakan, kau melihat apa lagi kali ini?"
Segelas air putih dia sodorkan padaku. Tanpa menunggu dipersilakan, segera isi dalam gelas langsung tandas akibat tenggorokanku yang kering terbakar.
Usai mengatur napas menjadi lebih seirama. Wajahku kembali mengeras dengan ekspresi yang agak mencekam.
"Seorang gadis mendatangiku. Lagi. Dia tampak tidak asing. Kali ini dia meminta maaf."
"Ini sebuah kemajuan setelah sekian lama kalian hanya saling menyorot satu sama lain."
Shizune-san benar. Untuk pertama kalinya, gadis itu bersuara sangat jelas kepadaku hari ini. Walau aku tidak mengerti, kenapa dan untuk apa permintaan maaf yang dia muntahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noir ✔️ || NaruHina
FanficSeries dari salah satu one shot [ NaruHina CreepyPasta : Our Red Rose ] kupikir, semua sudah berlalu. Berakhir dengan sepantasnya, dan... terasa sangat sedih memang Tapi ternyata, semua kegilaan ini masih terus berlanjut mengintai, mengikuti, mengh...