Prolog

574 36 1
                                    

Pukul 22.00 WIB Salma menunggu Wildan yang belum sampai rumah. Suaminya bekerja di Jakarta. Pulangnya hanya seminggu sekali. Wanita itu sudah merapikan rumah dan menyiapkan makanan untuk sang suami.

Di kamar Salma membaringkan tubuhnya yang lelah terutama batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Saat ini kepalanya begitu ramai. Banyak sekali yang di pikirkan tentang rumah tangganya. Salma menghela napas berharap bisa meringankan kesesakan di dadanya. Nyatanya tidak, kini dirinya sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Tidak lama terdengar suami pintu terbuka. Salma buru-buru bangun dari ranjang. Suaminya sudah pulang.

Wildan tersenyum saat melihat istrinya. Salma tidak membalas senyuman itu. Ia terlihat dingin. "Belum tidur?" tanyanya.

"Belum," ucap Salma singkat. Ia mencium tangan Wildan. "Mau mandi dulu apa makan dulu?" tanyanya.

"Mandi dulu aja," sahut Wildan. Ia menaruh tas di atas meja. Salma mengangguk. Ia membuka tas tersebut mengambil pakaian kotor yang di bawa Wildan untuk di cucinya besok. Di taruhnya di ember dekat kamar mandi.

Wildan mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Salma menghangatkan kembali masakannya yakni sop ayam. Kesukaannya Wildan. Lagi-lagi helaan napas itu terdengar. Tidak bisa di gambarkan suasana hatinya saat ini. Sungguh berantakan. Apalagi ketika melihat wajah Wildan. Teringat dengan masalah yang sedang di hadapinya.

Pria itu selesai mandi lalu makan. Salma memilih berdiam diri di kamar sambil memainkan ponselnya. Ia tidak menemani suaminya makan. Ternyata Wildan merasakan perbedaan sikap Salma akhir-akhir ini. Dari menolak ciumannya, membalas chat singkat dan tidak ada stiker-stiker cinta. Ia tidak mau ambil pusing. Mungkin karena sedang datang bulan, pikirnya. Selesai makan Wildan merokok di teras rumah. Memandangi motor dan mobil yang lalu lalang. Mereka mengontrak sebuah rumah dekat dengan jalan raya. Rokoknya habis baru ia masuk ke dalam rumah. Dibukanya pintu kamar, istrinya sedang berbaring. Ia menghampiri lalu naik ke atas ranjang.

"Kita pisah aja," ucap Salma tiba-tiba saat mereka hendak tidur. Tentu saja sang suami terkejut bukan main. Bagaikan tersambar petir. Ia terdiam menyakin diri jika salah dengar.

"Kalau ngomong ngaco aja," ucapnya. Mengenyahkan pikiran negatif.

"Mungkin ini lebih baik," sahut Salma.

"Aku nggak mau." Wildan memeluk tubuhnya. Namun, istrinya menolak. Berusaha melepaskan tangan sang suami.

"Yah, kita pisah aja." Salma menatap memohon pada suaminya. Wildan tidak tahu bahwa, wanita yang hidup bersamanya selama 3 tahun ini telah menyimpan luka yang sudah tidak bisa di bendungnya lagi. Batinnya sudah tidak kuat. Dan kini akhirnya menyerah.

"Aku nggak mau. Kamu kenapa sih?" tanyanya heran. Memang beberapa hari ini istrinya berubah. Mendiamkannya dan sering melamun.

"Biar kita sama-sama bebas. Kamu bisa milih cewek lain yang lebih dari aku."

"Aku nggak mau, kamu kalau ngomong ngaco!" Wildan berbalik marah. "Kenapa kamu bisa ngomong begitu? Aku udah punya istri. Ini istri aku," ucapnya seraya berusaha memeluk istrinya. "Aku nggak mau yang lain!" ucap Wildan tegas.

"Yah," ulangnya. Pria itu menggelengkan kepalanya. Ini bukan candaan lagi. Istrinya serius karena tidak tertawa sedikit pun.

"Kenapa kamu bilang begitu, Salma?"

"Ini yang terbaik buat kita. Kamu bisa nyari yang lebih muda dan cantik dari aku. Kamu bisa punya anak banyak nantinya."

"Kamu cantik. Aku nggak butuh yang lain," sahut Wildan dengan menatap tajam. Kini wajahnya berubah serius. "Aku punya kamu."

TITIK TEMU ( GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang