Matahari sudah menampakkan wujudnya. Keluarga Salma sudah beraktivitas seperti biasanya. Di dapur ibunya memasak di bantu oleh Salma. Sedangkan ayahnya mengurus hewan peliharaan kesayangannya. Hari ini Bu Eno membuatkan tumis kangkung dan cumi tepung asam manis kesukaan Salma.
"Gimana rukonya udah ketemu?" tanya Bu Eno di sela-sela menggoreng cumi tepungnya. Salma yang duduk sedang memotong kangkung.
"Aku udah nemu rukonya. Tapi," ucap Salma.
"Tapi kenapa?"
"Aku telepon nggak di angkat-angkat sama pemilik rukonya. Aku udah chat juga tapi belum di balas."
"Mungkin lagi sibuk," ucap Bu Eno menenangkan.
"Kayaknya, Ma. Rukonya strategis deket sekolahan juga. Kayaknya sih mahal juga, Ma."
"Ya kalau tempatnya ramai, pasti kebayar."
"Iya sih, Ma. Mudah-mudahan nanti ramai ya, Ma. Aku udah suka banget sama tempatnya. Ruko baru lagi jadi nggak perlu di cat atau di perbaiki. Oia, kata Wita itu ruko punya sepupunya temen dia di kantor," ucap Salma menjelaskan.
"Wah, Bagus dong. Kali aja dapet diskon harga kan." Bu Eno sumringah.
Salma tersenyum meliat reaksi ibunya. "Mama ini, tapi mudah-mudahan aja ya."
"Iya kan," sahut Bu Eno. Mereka melanjutkan memasaknya. "Wildan apa masih suka ngehubungin kamu, Salma?"
Wanita itu terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Bu Eno. "Nggak, Ma. Aku udah blok nomornya. Udah masing-masing sekarang. Aku nggak mau nantinya jadi masalah."
"Masalah gimana?"
"Gimana kalau dia udah punya pacar? Apa nggak jadi masalah nantinya? Pas di cek suka ngehubungin mantan istrinya. Aku sama Wildan udah punya pilihan masing-masing sekarang. Aku nggak mau ganggu dia, begitu juga sebaliknya," ucap Salma menerangkan bahwa Wildan masa lalu yang tidak bisa di ulang.
"Iyaya, takutnya salah tanggap bisa repot. Mama tadinya mau kamu sama Wildan nggak putus silahturahmi walaupun udah pisah," ucap Bu Eno.
"Aku bukannya nggak mau putus silahturahmi, Ma. Tapi kayaknya lebih baik kayak gini, nggak ada komunikasi. Aku nggak mau keluarganya juga salah paham. Di sangka aku masih ngejar-ngejar Wildan."
Bu Eno menghela napas. Ia tidak bisa memaksa putrinya. Mungkin benar kata Salma ini lebih baik. Keluarga Wildan pasti menyangka yang tidak-tidak jika Salma dan Wildan masih saling komunikasi walaupun sebatas silaturahmi. "Tapi kamu nggak trauma kan?" ibunya memastikan jika putrinya tidak trauma pada laki-laki.
Salma menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, Ma." Dalam kasusnya bukan prianya yang bermasalah melainkan keluarganya. "Tapi buat sekarang aku belum mau."
"Nggak apa-apa, sayang. Semua butuh proses nggak segampang itu kamu berhubungan lagi. Sekarang cari aktivitas biar nggak bosen. Kalau jodoh nggak ke mana kok."
"Iya, Ma." Salma senang mempunyai orang tua yang berpikiran positif. Tidak mengecapnya macam-macam. Orang tuanya tahu jika Salma anak baik. Mereka melanjutkan masak dan juga makan bersama.
***
Saat Salma sedang menonton TV ada sebuah chat masuk. Ponselnya berbunyi di atas meja. Lantas ia mengambilnya, sebuah nomor baru. Ia terlihat senang. Ternyata dari si pemilik ruko. Akhirnya di balas juga. Salma segera membalasnya.
"Iya, Pak. Saya minat dengan ruko Bapak. Berapa pertahunya ya, Pak?"
Salma mengetik dengan semangat. Ia menunggu balasan.
"Pertahunnya 50 juta."
Salma termenung. Mahal juga ternyata keluhnya dalam hati. Tapi ia sudah jatuh cinta pada tempat tersebut. Tahu harganya membuat dirinya down. Iya baru memulai usaha. Bagaimana jika nanti terjadi apa-apa. Usahanya tidak semulus jalan tol.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK TEMU ( GOOGLE PLAY BOOK)
RomanceTersedia GOOGLE Play BOOK & di KARYAKARSA https://play.google.com/store/books/details/Dania_CutelFishy_Titik_Temu?id=YGPdEAAAQBAJ https://karyakarsa.com/CutelFishy/titik-temu-prolog Salma lebih memilih berpisah. Bukan karena ia tidak mencintai Wild...