Hadiah

14 3 4
                                    

"Kak Esa nya nggak ada," Raya menatap teman-temannya.

Mereka diam sebentar.

"Pulang kali," tutur Riri.

"Nggak mungkin kalau pulang, mungkin lagi ke belakang sekolah," timpal Dwi.

"Ngapain kak Esa disana?" Cicit Nia.

"Toilet, apalagi?" Balas Dwi.

"Yasudah, ayo kita kesana. Kalo ngasih disini tuh terlalu rame, kita tunggu di samping kelas aja!" Raya dengan idenya.

Lalu gadis itu berjalan lebih dulu, sementara Riri, Dwi dan Nia berjalan mengikuti dari belakang.

Suasana sedikit lebih mencengangkan ketika Raya menginjakan kaki di area samping sekolah. Lahan luas yang dikelilingi pohon-pohon besar, suara gemericik air dari saluran pembuangan, belum lagi penerangan yang sangat minim, seolah mendukung ke hororan tempat tersebut.

"Gini amat ni tempat. Perasaan kalo siang biasa aja, malah enak gitu adem!" Bisik Dwi.

"Diem ih jangan banyak ngomong apalagi yang aneh-aneh," kata Raya yang mulai merasa panik.

Tiba-tiba saya seseorang muncul dari balik tembok belakang sekolah dengan langkah cepat, membuat Raya dan teman-temannya hampir berteriak dan berlari jika saya pria itu tidak mendengar suara.

"Hey hey, kalian kenapa?" 

"Ah kak Esa bikin kita kaget. Kenapa jalannya muncul tiba-tiba kayak begitu!" Riri memegangi dadanya yang berdebar kencang.

Raya hanya terdiam, dengan rasa terkejut yang sangat luar biasa. Jantungnya terasa hampir meledak, entah itu karena memang terkejut, atau ada faktor lain.

"Mau ke toilet?" Mahesa berjalan semakin mendekat, dan berhenti ketika jaraknya dengan Raya semakin menipis.

Raya bungkam, pandangan mendongak, menatap wajah Mahesa di bawah cahaya malam yang temaram.

"Kenapa semaunya kesini? Yang jaga tenda siapa?" Lantas pria itu kembali bertanya.

Ketika semua anak perempuan itu terdiam.

"Siapa yang mau ke toilet? Ayo kakak tunggu disini, yang lain boleh tunggu tenda kalian."

Tanpa banyak bicara Riri dan Nia segera bergegas pergi, meninggalkan Dwi dan Raya yang masih membeku di hadapan pria tinggi berseragam Pramuka itu.

"Cepat!"

"Eeee aku nggak mau ke toilet," Raya gugup.

Suaranya terdengar bergetar.

"Lho?" 

"Aku mau ngasih ini, semoga kakak suka. Cuma hadiah kecil aja dari aku!" 

Raya menyodorkan sebuah bungkusan yang menyerupai permen tapi dalam bentuk yang lebih beras. 

Mahesa menerimanya, lalu mendekatkan benda itu seraya bertanya;

"Hadiah? Ada acara apa? Kakak tidak ulang tahun, Raya!"

Raya menggelengkan kepala.

"Ini karena kak Esa baik, bukan karena aku ada acara atau kakak lagi ulang tahun. Semoga kak Esa suka!" Katanya, dan setelah itu Raya berbalik badan.

Dia meraih tangan Dwi, kemudian membawanya berlari untuk pergi dari area samping sekolah.

Malam beranjak semakin larut, keheningan mulai terasa, saat semua orang mulai terlelap di dalam tenda masing-masing, dengan api yang masih menyala. 

"Apaan tuh?" Tanya Hilda saat Mahesa mulai membuka pemberian dari salah seorang gadis yang cukup sering dia temui ketika acara perkemahan atau kegiatan Pramuka lainnya di selenggarakan.

Mahesa menoleh.

"Bingkisan," katanya.

"Bingkisan apa? Kado juga nggak bisa dibilang gitu. Lihat deh bungkusannya nggak rapi, malah mirip pocong tau daripada bungkus kado. Hahahah!"

"Jangan nilai sesuatu dari bungkusannya, kita lihat isinya apa!" Ujar Mahesa.

Hilda mengedikkan bahu sambil mengerucutkan bibir, kemudian menduduki salah satu bangku yang kosong di sampi Mahesa.

"Apa ini!" Mahesa bereaksi, ketika sesuatu di dalamnya mulai terlihat.

Hilda semakin mencondongkan tubuhnya.

"Coklat?" Cicit Hilda.

Mahesa tidak menjawab, dia hanya melihat bolak-balik makanan manis tersebut.

"Ada tulisannya!" Perempuan itu langsung merebutnya, lalu membaca dengan segera.

Sementara Mahesa diam seolah tidak peduli.

"Dari siapa, Sa?" Hilda beralih pada pria itu.

"Siswa kelas enam."

"Siapa? Abell? Gila ya tu anak, masih kecil kalau suka sama orang terang-terangan banget!"

Namun, Mahesa segera menggelengkan kepala, menepis tuduhan dari teman wanitanya.

"Bukan Abell."

"Terus siapa?" Cika? Wulan? Atau …. Tania?"

Mahesa terkekeh.

Dia merasa lucu sendiri, kenapa banyak anak kecil yang memperlihatkan sikap jika mereka sedang menyukai dirinya.

"Seneng bener yang di kasih coklat sama bocil."

"Nih!" Mahesa menyodorkan coklat itu kepada Hilda.

Perempuan itu diam, dia menatap apa yang Mahesa sodorkan, dengan wajah pria itu.

"Nanti Cika, Tania sama Wulan makin nggak suka aku dong kalau coklatnya aku yang makan."

"Tenang, bukan dari mereka."

"Terus?" Hilda bingung.

Tentu saja, memangnya berapa anak murid yang suka dengan Mahesa, pikirnya sambil menerka-nerka.

"Ini dari Raya, buat kamu aja."

Hilda terlihat semakin bingung.

"Kamu nggak suka kalau coklatnya dari Raya?" Tanya Hilda lagi, yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Mahesa.

"Aku nggak suka coklat, nah ambilah!" 

Mahesa meraih tangan Hilda, lalu meletakan sebatang coklat di atas perempuan itu. Dia segera bangkit, lalu berjalan mendekati tendanya yang berdiri di paling sudut.

"Esa? Suratnya nggak mau kamu baca dulu?"

"Nggak, buang aja."

Hilda bangkit dari duduknya, kemudian mendekati tenda milik Mahesa.

"Minimal dibaca dulu!" Cicit Hilda.

"Nggak penting tau, Hilda. Buang aja buang, coklatnya makan gih."

"Dih jahat, kalau Raya tau marah deh tuh anak sama kamu!"

"Anak kecil tau apa Hilda? Mereka cuma tau ngasih aja, dan itu bagus mereka mulai paham artinya berbagi atau menghargai, sayangnya aku nggak suka makanan yang manis-manis."

"Bocil kan sekarang, sepuluh atau lima belas tahun kedepan dia udah gadis."

"Kejauhan, sepuluh tahun kedepan kayaknya aku udah nikah!" Mahesa tertawa. "Udah sana masuk tenda, makan coklatnya gih, atau mau di kasihin ke Ajeng juga boleh, dia kan suka coklat."

Setelah itu Mahesa menarik resleting tendanya, sampai benda itu benar-benar tertutup.

Persami I'm In Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang