Maju satu langkah

9 4 12
                                    

Sesampainya di UKS, di sana tidak ada seorang pun yang berjaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di UKS, di sana tidak ada seorang pun yang berjaga. Ersa langsung mendudukkanku(?) di atas kasur, lalu mengambil obat dan perban dari troli. Dia mengobati kakiku dengan tenang. Sepertinya dia cukup berpengalaman mengobati kaki yang terkilir, tangannya begitu cekatan mencari sumber sakit dan membalut perban.

"Lo jangan kemana-mana dulu sampai yang jaga UKSnya datang," pinta Ersa setelah selesai membalut kakiku.

Aku menarik ujung jaketnya, "Kamu... mau langsung pergi?"

"Kenapa? Lo takut sendirian?"

"Aku takut petir," gumamku.

Lalu suara petir yang paling besar aku dengar hari ini bergemuruh, tanpa sadar aku mengeratkan kepalan tanganku yang sedang menarik ujung jaket Ersa untuk menahan rasa takut.

"Gue bakal duduk di sana," kata Ersa menunjuk sebuah kursi yang terletak tak jauh dari samping kasur pasien.

Sudah lebih dari 15 menit kami duduk diam di UKS, namun penjaga UKS masih tak kunjung datang. Hening. Hanya ada suara hujan dan gemuruh petir yang terdengar jauh. Aku melirik kepada Ersa yang duduk tak jauh dari kasur tempatku duduk, ia sedang memainkan ponselnya. Aku juga ingin memainkan ponsel, tapi ponselku kutinggal di tas.

"Ersa," aku iseng memanggilnya, namun Ersa tidak membalas panggilanku.

Aku memikirkan kalimat yang ingin aku katakan padanya. Ada banyak pertanyaan yang terlintas di pikiranku, "Kalau kamu bolos, biasanya pergi kemana?", "Kenapa kamu suka bolos?", dan berbagai pertanyaan tidak penting lainnya dari rasa penasaranku. Namun, yang berhasil keluar dari mulutku hanyalah, "Kamu suka baca buku, gak?"

"Lumayan," jawabnya.

"Akhir pekan nanti, mau ke perpustakaan bareng, gak?" Jantungku langsung berdebar-debar ketika berhasil mengeluarkan kalimat ajakan padanya. Aku segera mempersiapkan hati kalau-kalau Ersa menolak ajakanku.

"Lo ngajak gue kencan?"

Aku tak habis pikir, "Kencan? Apa kedengerannya kayak gitu?"

"Enggak, gue cuma mau mastiin doang,"

"Aku cuma ngajakin ke perpus, ada tempat yang nyaman buat menikmati ketenangan,"

"Oh, gitu..." Lagi-lagi ambigu. Aku sengaja tidak melanjutkan percakapan untuk menunggu kalimat lanjutan dari perkataan Ersa. Namun, percakapan kami berhenti sampai di sana. Aku pun tidak berniat untuk bertanya lagi.

Ketika sedang melihat jam dinding yang menunjukan pukul 06.20, penjaga UKS pun datang dengan secangkir kopi. Dia menanyakan beberapa pertanyaan dan memberikan tips untuk merawat kakiku yang terkilir sebelum kami pergi. Bukannya kembali ke kelas dengan kondisi perut yang membaik, aku malah kembali dengan kondisi yang lebih merepotkan karena kaki yang terkilir. Aku juga sudah tidak merasa sakit perut lagi- bahkan sudah lupa tujuan awalku karena terlalu kaget dengan rangkaian kejadian tadi.

Hujan berhenti turun ketika kelas tambahanku selesai. Aku segera membereskan barang-barangku dan pergi keluar kelas dengan perlahan. Ketika hendak melewati pintu, terlihat sosok Ersa tengah bersandar di tembok depan kelasku. Dia sedikit terlihat cemas, atau aku salah mengira?

Tapi sepertinya perkiraanku ada benarnya, karena dia meminta tasku untuk dibawakan olehnya. Tanganku juga ditarik untuk berpegangan pada lengannya. Aku turuti saja karena memang agak sulit berjalan dengan kaki yang pincang seperti ini. Aku juga senang mendapat perhatian seperti ini, tuhan memang mendatangkan keberuntungan dengan cara yang dramatis padaku.

Murid-murid yang lain sudah lebih dulu meninggalkan gedung kelas, aku dan Ersa masih berjalan pelan menelusuri lorong kelasku. Ketika hampir sampai di tangga, tiba-tiba Ersa menghentikan jalannya dan membuka jaketnya lalu memakaikannya padaku. Setelah itu, dia berjongkok di depanku dan memintaku untuk naik ke punggungnya.

"Ayo cepet naik, nanti gak akan nyampe-nyampe kalau lo jalan sendiri," dia sangat perhatian dengan cara yang menyebalkan.

Kali ini aku bersandar di punggungnya dengan lebih nyaman. Tubuh Ersa begitu kokoh dan hangat, aku ingin seperti ini lebih lama. Aku juga menyandarkan kepalaku di bahu kirinya dengan wajah menghadap ke sebelah kiri. Selama ini aku penasaran pemandangan seperti apa yang bisa dilihat dari ketinggian ini, ternyata biasa saja, sama seperti yang aku lihat dengan tinggi tubuhku.

"Perpustakaannya tutup jam berapa?" tanyanya tiba-tiba.

"Hah?"

📽📽📽

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang