Hujan turun

6 3 5
                                    

Hujan terus turun membasahi kota sejak aku baru sampai di kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan terus turun membasahi kota sejak aku baru sampai di kelas. Selama seharian, udara dingin masuk ke dalam kelas sehingga murid-murid di sekolah tidak ada yang melepaskan jaketnya.

Suasana semakin membuat suntuk ketika guru menjelaskan materi di kelas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Aku menatap ke luar jendela, langit sangat gelap dan tidak ada tanda hujan segera berhenti. Hari ini aku ada kelas tambahan hingga malam, namun hujan masih tak kunjung reda dan justru semakin deras disertai badai. Sepertinya aku harus meminta Ayah untuk menjemputku karena tidak berani pulang sendirian.

Di tengah ketakutan karena hujan badai, tiba-tiba aku merasa sakit perut dan harus segera berlari ke toilet. Aku berpikir dulu sejenak sambil berusaha menahan sakit perut untuk mencari letak toilet yang paling aman dari suara petir, karena toilet terdekat dari kelasku masih bisa terdengar suara dari luar. Kuputuskan untuk pergi ke toilet dekat ruang seni lukis yang letaknya di lantai atas kelasku sekaligus menjadi lantai paling atas di gedung ini. Di sana cukup hening karena seluruh lantai dibuat kedap suara, dan memiliki lampu yang paling terang.

Ketika aku selesai menaiki tangga dan hendak berbelok menuju lorong, tiba-tiba seseorang muncul sehingga aku hampir menabrak tubuhnya dan reflek berjalan mundur. Namun, kali ini keberuntungan tidak berpihak padaku. Kakiku berjalan mundur menuruni tangga dan tubuhku terhuyung, aku pasrah menerima takdir yang datang padaku dan bersiap untuk menerima rasa sakitnya jatuh dari tangga.

Namun, sepertinya takdir tidak berkata seperti itu. Tubuhku ditarik sekuat tenaga dan kembali mendarat ke lantai atas dengan kondisi tergeletak bersama seseorang yang menyelamatkanku. Aku mengatur napasku, mencerna situasi, lalu mendapati sosok Ersa yang setengah memeluk tubuhku sambil sedikit terengah-engah. Mataku terbelalak, segera aku mengubah posisiku menjadi duduk.

"Lo gak kenapa-napa, kan?" tanya Ersa yang ikut duduk menghadapku.

"I-iya, gak kenapa-napa," jawabku kikuk. "Makasih."

"Beneran gak kenapa-napa?" Ersa kembali memastikan.

"Iya, bener," aku pun mencoba untuk berdiri. Namun, rupanya takdir menentukan supaya kakiku terkilir dengan dramatis. Aku menahan rasa sakitnya agar Ersa tidak merasa khawatir. Namun ketika aku berjalan, Ersa menyadari kalau aku berjalan agak pincang dan langsung menahan tanganku.

"Lo gak baik-baik aja." Ia langsung menggendongku ke punggungnya dengan paksa karena tahu kalau diriku akan sulit dibujuk.

Sebenarnya tuhan memberikan takdir seperti apa padaku? Memberikan keberuntungan dengan dramatis? Aku merasakan kupu-kupu beterbangan di perutku. Perasaan ini sangat menggelitik dan mendebarkan. Di waktu sore menjelang malam, di tengah sekolah yang sepi dan murid-murid fokus belajar, aku digendong Ersa menuruni tangga dan menelusuri lorong menuju UKS. Punggung Ersa terasa kuat dan kokoh, apa ia tidak merasa berat saat menggendongku? Sepertinya aku harus menurunkan berat badan.

"Lo ngapain ke lantai atas?" tanya Ersa memecah keheningan.

Aku diam sejenak sebelum menjawab, mana mungkin aku mengatakan kalau aku hendak pergi ke toilet karena ingin buang air besar?!

"Eum... ada sesuatu," jawabku. "Kamu sendiri ngapain di sana?"

"Ada sesuatu juga."

Ambigu. Baik jawabanku, jawabannya, dan hubungan kami. Kami terbilang sering bertemu, namun hampir tidak pernah terlihat berinteraksi di depan orang lain ketika di sekolah. Kami seperti teman, tapi bisa dibilang tidak. Perlakuannya padaku terlalu hangat sekaligus terlalu dingin untuk disebut sebagai teman. Lantas, hubungan kami ini apa? Apakah hanya sebatas kenalan, dan aku menyukainya sebelah pihak?

📽📽📽

Our First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang