Chapter 2

312 33 3
                                    

"Hhm... enak" Jay masih sibuk mengunyah teopokinya. Ini sudah piring ketiga miliknya. "Kenapa tak sedari dulu ya aku memakan makanan ini? Ini jauh lebih enak daripada camilan yang di jual resto mahal"

"Itu karena kau tak mau keluar dari zona nyamanmu" ujarku menatapnya miris. Bagaimana bisa ia melewatkan camilan legendaris ini selama hidupnya.

"Ah! akhirnya kenyang" tangannya sibuk menepuk perutnya. Seperti anak kecil saja.

Setelah makan camilan kami berdua duduk di salah bangku. Menatap hamparan Sungai Han yang tampak tenang diselingi gemerlap lampu kota. Sangat cocok untuk sekedar melepas penat setelah seharian bekerja.

"Kau sering datang kesini?"

"Hmm dulu sangat sering, setelah menjadi sekretarismu aku semakin jarang kesini"

"Kenapa?" tanyanya sambil menyeruput minuman bersoda miliknya.

"Karena terlalu lelah menjadi sekretarismu" aku menyeruput kaleng sodaku.

"Apa tugasmu terlalu banyak sebagai sekretarisku?" tanyanya dengan wajah serius.

Aku menoleh padanya "Bukan tugas kantornya, tapi menghadapi tingkahmu itu yang lebih melelahkan. Dan aku juga tidak terlalu menyukai tempat ini lagi" ujarku meraih satu bungkus camilan jagung di tangan Jay.

"Baguslah kalau begitu aku akan semakin berulah. Ngomong - ngomong kenapa tak menyukai tempat seindah ini? Padahal kau sering kesini sebelumnya, dengan... siapa?" tanyanya dengan penasaran.

"Hmm... aku hanya tak suka dengan kenangannya" ujarku enteng.

"Ah mantan kekasih" tebaknya asal, dan aku hanya diam membisu. "Ingin ku buat mantan kekasihmu menyesal?" tawarnya.

"Terimakasih tuan... tapi aku tak ingin berhubungan lagi dengannya" aku menghela nafas saat kenangan itu kembali berputar. Jay membawaku dalam pelukannya dan ku balas sama besarnya.

Setelah bersantai Jay mengantarku pulang. Namun bukannya langsung pulang pria itu terus memegangi tanganku.

"Boleh aku menginap?" rengek Jay sekali lagi setelah mendapat kabar dari salah satu maid di rumahnya bahwa ayahnya sudah pulang dari Italia. "Aku malas bertemu ayah, dia pasti akan mengomel tanpa henti. boleh ya, boleh?" ujarnya sembari mengatupkan kedua tangannya.

"Aah! Kenapa aku bisa memiliki atasan sepertimu Jay?" dengusku.

"Hanya malam ini. Aku janji ini jadi yang terakhir" bujuknya mencoba meyakinkanku.

"Baiklah, ini yang terakhir" Ia tersenyum cerah dan berjalan lebih dulu daripada tuan rumah. Benar-benar menyebalkan.

.
.
.
.
.

"Jangan harap bisa tidur di kasur" peringatku saat Jay menatap kasurku penuh damba.

"Iya, iya. Cerewet sekali" ujarnya merebahkan diri di sofa. Ya hanya sofa satu-satunya yang bisa dijadikan pilihan.

Rumah sewa ini tak terlalu luas. Di dalam hanya ada satu ruang luas yang langsung terhubung dengan dapur. Dengan harga sewa yang murah memang apa yang bisa ku harapkan. Aku juga bukan orang yang suka mengundang teman untuk menginap. Bukan tak suka lebih tepatnya tak punya teman.

"Kau tak mencuci wajahmu?" tanyaku saat baru keluar dari kamar mandi.

"Tak mencuci wajah dalam semalam tak akan melunturkan ketampananku sekretaris Kim" ujarnya masih memejamkan mata.

"Cih... Kalau begitu selamat malam" Namun Jay tak lagi menjawab. Mungkin sudah berpindah ke alam mimpi.

Aku mematikan lampu lalu mengambil posisi nyaman di ranjang. Berdoa sebelum tidur agar mendapat kekuatan di hari esok dan juga mimpi yang indah.

Sweet Liar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang