"Bisa minggir?"
Suara berat dan dingin itu membuat Clarin terdiam, dia mencerna ucapan lelaki di hadapannya yang terdengar begitu dingin dan menusuk.
Katanya, Wafda ramah dan berhati hangat meskipun tampilannya terlihat dingin. Tapi, bukan itu yang bisa dirasakan Clarin. Mungkin karena dia bukanlah bagian dari hidup Wafda yang harus diperlakukan dengan baik, begitu pikir Clarin.
Melihat gadis di hadapannya hanya terdiam sambil menatapnya, Wafda mengangkat sebelah alisnya. "Ck! Minggir!" titah Wafda lebih ketus.
Jalanan di samping mereka memang sedang ramai oleh lalu lalang kendaraan, sehingga keduanya harus berbagi jalanan yang trotoar itu.
"Hah? Ah iya. Maaf, Kak," ucap Clarin gelagapan dan menundukkan kepalanya beberapa kali sebagai permintaan maaf.
Gadis itu langsung melangkah ke pinggir seraya memiringkan badannya, memberi jalan bagi Wafda untuk melewatinya.
Sementara itu, Manda hanya terdiam memperhatikan interaksi keduanya. Ikut minggir juga waktu Wafda mau lewat.
Setelah Wafda pergi, Clarin menghembuskan nafas kasar. Ingin rasanya dia berbalik dan menatap punggung Wafda yang menjauh. Namun, Clarin tidak seberani itu.
"Ngarep apa sih, Rin? Ini dunia nyata, bukan kehidupan drama yang ada romantisnya. Sadar Clarin! Sadar!" omel Clarin pada dirinya sendiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Manda sambil menepuk pundak sahabatnya.
Clarin hanya tersenyum sekilas lalu mengajak sahabatnya kembali berjalan. Keduanya lebih banyak terdiam hingga masuk ke kendaraan umum, yang akan membawa mereka pulang.
*****
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya Clarin tiba di lingkungan rumahnya. Clarin selalu suka momen ketika berjalan di jalan gang rumahnya, sepulang beraktivitas.
"Meskipun udah reyot, pulang ke rumah selalu menyenangkan," gumamnya sambil membuka pagar.
Rumah dengan cat putih berpagar coklat itu selalu terlihat sepi, karena penghuninya hanya Clarin dan Neneknya yang dipanggil Enin.
"Assalamualaikum, Enin. Clarin pulang," ucapnya saat memasuki rumah.
Clarin nampak kebingungan karena, tak menemukan sang Nenek di kursi depan televisi. Tempat biasanya Enin beraktifitas sambil menunggu Clarin pulang.
Dengan tergesa, segera dia menuju kamar neneknya.
Kriet!
Derit pintu tua itu terdengar nyaring, saat Clarin membukanya.
Gadis itu langsung terlihat murung saat melihat sang Nenek tertidur berselimutkan sarung tua. "Enin," panggilnya.
Wanita tua yang sedang berbaring itu membuka matanya perlahan seraya tersenyum. "Arin udah pulang?"
Clarin berjalan mendekat, mencium punggung tangan sang Nenek dan memeluknya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Enin dengan lembut.
Sekuat tenaga Clarin menahan agar air matanya tidak menetes. Semenjak kedua orangtuanya berpisah, Enin menjadi satu-satunya tempat pulang bagi Clarin. Ajaibnya, apapun yang terjadi Enin selalu tahu meskipun sang Cucu tidak bercerita.
"Kuliah lancar?" tanya Enin lagi.
Clarin menggenggam tangan kanan Enin dengan erat. "Baik, semua lancar," sahutnya. "Enin pusing? udah makan?" tanya Clarin penuh perhatian. Clarin merasa tubuh neneknya lebih hangat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinner and Soul Mate
RomanceSemester pendek sudah hampir berakhir. Sudah saatnya Clarin membayar uang kuliahnya. Clarin tak tahu harus meminta uang pada siapa. Papanya yang pamit pergi ke luar kota karena urusan proyek ternyata hilang tanpa kabar. Ibunya yang tinggal di kota b...