Hah?

6 1 1
                                    

Pulang kuliah, Clarin dapat notifikasi untuk datang sebuah cafe kelas A di daerah pusat kota. Letaknya tak jauh dari kawasan apartemen mewah dan lingkungan pusat perbelanjaan tempat nongkrong anak muda.

Baru datang saja Clarin sudah minder. Dia hanya mengenakan dress hitam selutut, sepatu flat, dan tote bag putih. Meskipun rapi, kesan sederhana terlihat sangat jelas.

"Selamat siang, reservasi atas nama siapa?" tanya seorang pelayan dengan sopan.
kehadirannya yang tiba-tiba tentu saja membuat Clarin terkejut.
Clarin terkekeh kikuk. Dia baru tahu jika di cafe mewah sudah dilayani sejak langkah pertama.
"S-saya m-mau eh, m-maksudnya reservasi atas nama Miko." Clarin tergagap.
"Oh iya, mari ikut saya."

Dengan segera pelayan itu menuntun jalan menuju ke lantai dua.
berbeda dengan lantai satu yang masih ada beberapa pengunjung. Lantai dua ini sepi, tidak ada pengunjung sama sekali.

"Cafe mahal ko sepi? Jangan-jangan makanannya nggak enak," terka Clarin dalam hatinya. "Padahal warung bebek sama pecel lele aja lebih rame dari ini."

Clarin terus mengikuti langkah sang Pramusaji hingga mereka hendak naik ke sebuah ruangan yang lebih tinggi. Tidak bisa dibilang lantai tiga juga karena, hanya ada empat undakan tangga untuk menuju kesana.

Dari jaraknya saat ini dia melihat sosok yang tak asing baru saja datang untuk menemuinya.

"Hai," sapa Miko dengan wajah cerianya seperti biasa. Namun, suaranya sangat pelan bahkan hampir tak terdengar.

Setelah mengantarkan Clarin, pramusaji itu pamit. Seperti halnya Miko, pramusaji itu juga bersuara sangat pelan.
Clarin dibuat bingung oleh tingkah dua lelaki itu.

"Tunggu disini dulu ya," ucap Miko sambil berbisik dan menunjuk sebuah sofa di sampingnya. "Jangan berisik," lanjutnya.

Clarin masih tak paham, tapi dia hanya mengangguk. Tak lama kemudian Miko pergi meninggalkannya.

Clarin menunggu di tempat itu cukup lama, hampir setengah jam. Suasana sepi membuatnya mengantuk.
Tepat saat Clarin hendak memejamkan mata, Miko memanggil namanya.

"Clarin, ikut gue," titah Miko dengan senyum manisnya. Kali ini suaranya normal bahkan cenderung kencang.

Setelah satu belokan, Clarin melihat sebuah meja panjang dengan Wafda di ujungnya.

Miko memerintahkan Clarin untuk duduk di sisi lain meja. Meja itu sangat panjang, persis seperti meja yang digunakan presiden putin saat menjamu konselor jerman. Di seberang tempat duduknya terlihat jelas muka judes dan penuh intimidasi dari Wafda. Clarin merasa sedang berada di cerita Beauty and The beast. Tentu saja Clarin tidak merasa menjadi sosok Beauty, melainkan sosok Beast-nya.

Clarin cukup bingung saat ini karena, setelah Miko pergi begitu saja dan Wafda hanya diam di kursinya.
“Apa ini tes?” gumam Clarin dalam hatinya.

Clarin memperhatikan sekitarnya, di depannya sudah ada alat makan dan mic yang biasa disediakan di konten asmr. Belum ada makanan yang tersaji. Hanya ada segelas es kopi di hadapan Wafda.

Beberapa menit kemudian, seorang pramusaji datang dengan tiga menu makanan. Ada satu piring steak, satu mangkuk sup buntut, dan semangkuk kecil es krim waffle.
Clarin yang belum makan sejak pagi tentu saja ngiler. Apalagi melihat daging yang tersaji bersama kentang goreng. Dia lupa kapan terakhir kali makan daging mahal.

Setelah pramusaji itu pergi, Miko kembali masuk ke ruangan.
"Oke, silahkan kamu makan," ujar Miko memberi perintah.
"Hah?" Mata Clarin membulat mendengar perintah itu.
"Kenapa?" tanya Miko dengan muka polosnya. Miko kebingungan dengan ekspresi Clarin yang terlihat tidak suka.
"Beneran makan ini, Kak?" Clarin mengerutkan keningnya, dia tak sadar nada bicaranya meninggi.

Miko mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Clarin. Setelah itu hening. Wafda hanya memperhatikan dua manusia di depannya tanpa kata. Sementara Clarin sibuk dengan pikirannya.

Tanpa sadar Clarin tersenyum lebar. "Mimpi apa semalam ya? tiba-tiba dikasih makanan enak. Alhamdulillah." Clarin bersyukur dalam hati.

Meskipun tidak berasal dari keluarga kaya, Clarin dididik dengan baik, dia tahu bagaimana etika makan yang sopan. Sebelum mengambil peralatan makan, Clarin berdoa. Segera dia mengambil garpu dan pisau karena menu pertamanya steak.

Dengan lembut dan sabar Clarin memotong daging yang sangat empuk itu. Saat hendak memasukkan daging ke dalam mulutnya Clarin berhenti. Disimpannya kembali garpu berisi daging itu ke piring.
Setiap gerakan Clarin tak lepas dari perhatian Wafda.
"Kenapa?" tanya Wafda penasaran.
"M-maaf Kak. Saya lancang." Sahut Clarin sambil menundukkan kepalanya.
"Lancang?" gumam Miko dan Wafda bersamaan tapi dengan suara pelan.
"Makanan Kak Wafda sama Kak Miko belum datang. Saya nggak sopan makan duluan," cicit Clarin masih dengan kepala yang tertunduk.
Clarin menyesali sikapnya beberapa saat lalu. Dia sedikit melirik ke arah Miko.
“Bodoh! Peralatan makan Kak Miko aja belum keluar. Bisa-bisanya aku malah mau makan duluan,” umpatnya dalam hati.

Miko langsung tertawa keras, apalagi setelah melihat raut penyesalan Clarin.
"Makanlah, kami sudah kenyang," ujarnya.

Clarin menoleh namun masih diam, dia sama sekali tak menyentuh alat makannya.

"Kenapa lagi?" tanya Wafda sedikit emosi. Lelaki itu berdecak kesal.

"I-ini gratis? Saya nggak bawa uang buat makan makanan mahal soalnya," cicit Clarin setengah menunduk.

Lagi-lagi Miko terbahak mendengar pertanyaan Clarin. "Gratis! Makan makan," sahut Miko sambil terkekeh sesekali.
“Beneran nggak apa-apa?” tanya Clarin masih merasa sungkan.

Wafda tersenyum sedikit namun, kembali terlihat tanpa ekspresi. “Makan sekarang atau gue minta lo cuci piring buat bayar makanan itu!” ancam Wafda dengan tegas.

Clarin refleks menggelengkan kepala.
"Alhamdulillah. Selamat makan," ucap Clarin dengan senyum yang mengembang.

Dari ekspresi cerah yang tergambar jelas di wajah Clarin membuat lelaki yang duduk di seberang mejanya sadar satu hal. Clarin tak terbiasa dengan sajian itu.

Miko menoleh memperhatikan ekspresi Wafda. Wafda terlihat menaikkan alis sesekali. Tatapan matanya tajam, menilai setiap gerak gerik Clarin. Wajahnya terlihat datar.

"Yah, nggak cocok lagi deh ini." Miko langsung terlihat sedih.

Hampir 30 menit Clarin menghabiskan semua makanan. Wafda memperhatikan sambil sesekali minum kopinya. Begitupun dengan Miko, dia sambil Chat dengan gebetan barunya.

“Alhamdulillah, makasih,” ucap Clarin setelah mengelap bibirnya.

“Kenyang?” tanya Wafda spontan.
Clarin mengangguk dengan senyum manisnya. Sementara itu Wafda menyesali pertanyaan itu dalam hatinya.

Miko yang sedang tunduk melihat handphone mendengar pertanyaan singkat dan spontan itu, tapi dia memilih pura-pura tidak dengar.
Miko mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Clarin. “Oke, tesnya udah selesai,” ujarnya.

“Hah?” Clarin membulatkan bibirnya.
“Hah, Hoh, Hah, Hoh mulu lo!” gerutu Wafda terlihat tak suka.
“Maaf kak, saya cuman kaget. Kan saya datang kesini buat wawancara sama test.” Clarin menjelaskan dengan sopan, menyembunyikan perasaan paniknya.

“Ya itu tadi!” Wafda terdengar kesal.

“Hah?” lagi-lagi Clarin mengeluarkan ekspresi yang sama.
Wafda kembali berdecak mendengar respon gadis di hadapannya.

Miko mengulum bibirnya menahan tawa, kemudian berdehem sedikit. “Iya Clarin, itu tadi agenda kita hari ini. Buat selanjutnya nanti gue kabarin lagi ya?” Jelas Miko dengan senyum ramahnya.

Clarin masih mencerna apa yang terjadi barusan. Dia hanya datang, makan, lalu diajak mengobrol sesekali saat makan.

Sambil berjalan pulang Clarin sibuk dengan pikirannya. “Apa mungkin di dunia ini ada pekerjaan semudah ini? Apa ini penipuan?”

Dinner and Soul MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang