Aku termangu menatap makam ibu dan ayahku. Kumpulan orang berpayung hitam tlah pergi, tinggalkan aku sendiri yang berusaha menangis terisak tapi tak bisa. Yang tersisa kini hanya kepiluan dan rongga kosong di dada. Langit menggelap, seakan ikut berduka dan mengasihaniku. Rintik rintik hujan mulai turun, dan lihatlah aku, tersungkur duduk dimakam kedua orang tuaku yang masih baru. Langit, bisakah kau turunkan aku hujan dengan petir? Karna aku ingin menangis tanpa terlihat, ingin menjerit tanpa terdengar.
***"Aku melihat kobaran api dimana - mana. Tiba - tiba aku mendengar suara ibu terisak kesakitan, lalu menjerit sambil menangis. Lalu suara ayah yang meminta tolong putus asa. Aku melihat sekeliling, mencari - cari dimana mereka. Dan aku melihat ibuku yang sedang tersungkur bersimbah darah dikepung api, terpanggang. Kaki ayah tertimpa balok api. Aku berteriak terisak - isak. Mencoba membantu tapi tanganku seperti bayangan, tembus tak bisa mengenggam. Balok kayu berapi tiba tiba jatuh dan menghantam wajah ibuku.
Aku terlonjak dari tempat tidur, terkesiap. Jantungku berdegup kencang, tak bisa bernafas. Mimpi itu lagi. Seketika tangisku pecah. Ruang kosong dalam hatiku seperti terasa perih. Berusaha menangis, menjerit sekuat mungkin, berharap agar merasa lebih baik. Tapi percuma, sebesar apapun aku menangis, sekencang apapun aku menjerit, nyatanya, aku tak pernah merasa lebih baik."
***
Jam 03:00 pagi
Aku bangun dengan mimpi itu lagi. Semua tlah berlalu, namun aku masih saja tidur dengan mimpi mimpi yang mengerikan hingga akhirnya akupun terbiasa.
Aku lulus sekolah dengan hasil yang memuaskan. Berusaha sekuat tenaga belajar dari malam ke pagi, pagi ke malam demi mendapatkan beasiswa full di universitas ternama. Dan ya, semua itu aku lakukan karna aku sadar diri, tak akan ada lagi yang membiayai hidupku. Sanak saudara orangtuakupun acuh terhadapku. Dan ya, sekali lagi aku sadar diri. Sanak saudara mana yang mau membiayai anak pungut?. Aku berkerja sampingan di sebuah cafe sebagai pelayan dan di hari sabtu minggu sebagai asisten kepala butik, dan sampai sejauh ini upahku cukup untuk membayar kostku dan hidupku yang sebatang kara ini. Ya, sekali lagi sebatang kara.
***
Aku berjalan di kegelapan malam, dibelakangku terdengar langkah kaki yang mengikuti. Berupaya berjalan sambil berlari. Aku melihat jam diponsel. Ahh.. sudah jam setengah 1 malam, pantas saja jalan sepi kosong melompong, tak ada orang yang berlalu lalang sedikitpun.
Tiba tiba, sebuah tangan memegang pundakku. Aku terkesiap. Ku hantam tas ransel beratku yang berisi buku buku kuliah. Dan bruggg...
"Aww..." teriak seseorang bersuara berat mengaduh kesakitan
Mataku tak berani menoleh untuk melihat siapa itu. Hitungan ketiga, satu.. dua.. tiga..
"Lariiiii...." teriaku
***
Taraaaaamm.. part 2 dari hati tanpa nadi gimana gimana??? Siapa ya kira kira orang yg ngikutin nauraaa??? Jangan lupa vote dan komennya yaaa readers..
P.S. untuk part selanjutnya bakalan aku terbitin ASAP. Thank you. Xoxo^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati tanpa Nadi
ChickLit"Seberapapun kamu membenci keadaan rumah.. tetap saja kamu harus pulang bukan?. Seberapa pun kamu ingin berlari menjauhi masalahmu. Tetap saja di akhir cerita kau harus menghadapinya bukan?"