Winter

39 5 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Tepat sepuluh menit lagi kelas akan dimulai. Seharusnya ia sudah ada di kelas sekarang, tapi ia baru saja sampai di depan gedung fakultas. Sedangkan kelasnya berada di lantai dua ruangan paling ujung. Apalagi pagi itu mata kuliah dosen yang sangat tegas dan disiplin. Bisa-bisa ia tidak diizinkan masuk kelas jika terlambat.

Semua kemampuannya ia kerahkan untuk dapat berlari secepat mungkin. Ia sudah ngos-ngosan parah begitu selesai menaiki tangga, ia tidak tahu apa ia masih kuat untuk berlari menuju kelas. Lalu seorang laki-laki tiba-tiba menarik tangannya dan berlari bersama. Pria itu berlari cukup cepat hingga ia hampir saja kehilangan keseimbangan.

“Kalau kau berlari selambat itu, kau akan terlambat.” ujarnya.

Tapi berkatnya juga, ia berhasil sampai di kelas tepat waktu. Meski nafasnya hampir saja habis. Mereka ternyata memasuki kelas yang sama. Ia tersenyum dan menyapa pria itu setelah kelas selesai.

“Terima kasih untuk yang tadi,”

“Tidak masalah.”

“Namaku Winter, siapa namamu?”

“Aku Junie,”

“Eum, aku harus mentraktirmu makan lain kali sebagai balas budi,”

“Kau baik sekali, Winter. Kau bisa menemukan nomorku di grup,”

Winter mengangguk sekali.

“Sampai bertemu lagi,” pamit Junie.

Junie pergi menuju panggung biru, tempat untuk melakukan pagelaran seni di kampus itu. Ia duduk sebentar di sana untuk melihat seorang mahasiswi yang tengah membacakan naskah monolog dengan lantang. Setelahnya ia langsung pergi.

Saat melewati taman dekat fakultas ilmu sosial dan politik, ia dikejutkan dengan suara teriakan nyaring seorang perempuan. Segera ia mencari asal suara, mungkin saja seseorang membutuhkan bantuan. Ia menemukan Winter di dekat sana.

“Kau baik-baik saja?” tanya Junie.

Winter menoleh dan terkejut mendapati Junie di sana, “Aku baik-baik saja. Kau kemari karena teriakanku?”

“Iya, aku pikir ada sesuatu yang berbahaya,”

“Aku berteriak karena terkejut. Terima kasih telah khawatir,” 

“Baiklah. Hati-hati kalau begitu,”

“Terima kasih, lagi.” jawab Winter sedikit canggung.

Ia kembali mendekatkan ponsel di tangannya pada telinganya, “Karina! Kau masih di sana, kan?”

“Oh, ya ampun aku malu sekali. Teriakanku terdengar sampai seseorang menghampiriku,”

“…”

“Aku akan pergi ke rumahmu sore ini. Boleh, kan? Ah, kapan kau akan mulai kuliah?”

“…”

“Iya, kalau begitu. Sampai jumpa lagii Karinaa, muach!”

Winter sangat senang karena sahabatnya itu akhirnya mengangkat teleponnya dan mengizinkannya mengunjungi rumahnya. Winter sempat putus asa pada temannya itu. Ia sangat ingin menghiburnya, atau sekedar menemaninya melewati masa sulit itu, tapi ia tidak bisa. Keluarganya bahkan tidak menerima tamu sama sekali kecuali pada saat pemakaman.

Setelah mata kuliah terakhirnya selesai, ia bergegas menaiki taksi untuk ke rumah Karina. Ia juga sudah membelikan sahabatnya itu makanan dan minuman kesukaannya, green tea latte dan red velvet cake.

Kali ini satpam membiarkannya masuk, mengantarnya hingga ke depan tangga mansion. Tapi saat menaiki tangga ia melihat seorang pria tengah berdiam diri di balkon menatap pemandangan indah di hadapannya. Winter tidak pernah melihat pria itu sebelumnya. Ia mempercepat langkahnya untuk menemui Karina dan menanyakan siapa pria tampan itu.

It's Very Familiar TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang