Prolog

17.9K 639 7
                                    

"Baiklah, aku mengerti. Kau sudah meneleponku hampir 10 kali dalam sehari. Aku sudah akan bersiap-siap. Iya aku tahu. Tapi aku cukup kesal mendengar ocehanmu terus. Hhh~ iya. Sudah aku mau beres-beres dulu. Bye!"

Luna menutup teleponnya dengan perasaan jengkel. Bagaimana tidak, Rei, kakaknya terus meneleponnya hari ini dan berkata hal yang sama.

Luna melempar handphonenya dikasur. Lalu berbaring sejenak. "Yang benar saja. Baru dua tahun aku menikmati keindahan negara dan kota ini, dan Rei, menyuruhku untuk pindah. Memangnya pindah itu cepat? Huh."

Dua hari lagi, Luna akan pulang ke kampung halamannya yang ia tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Entah apa yang membuatnya pindah ke Jakarta. Yang sebenarnya merupakan kota kelahiran dari Ibunya. Dan sekarang ia harus pindah lagi ke Korea, kembali mengingat kenangan masa lalunya.

KRINGGG~

Handphonenya kembali berdering. Luna mengacak rambutnya frustasi. Dengan malas ia mengambil handphonenya.

"Halo! Jangan meneleponku terus. Aku sedang bersiap-siap kok." sambar Luna cepat. Ia tak tahu siapa yang meneleponnya.

Luna memejamkan matanya, berusaha sabar menunggu jawaban dari si penelepon, tapi sayang tidak ada jawaban dari seberang.

"Halo? Ah menganggu waktu ku saja, sudah ya."

Luna hendak menutup teleponnya, tetapi dari seberang terdengar suara berat yang selalu Luna ingat.

"Luna."

Suara berat itu terdengar sedih. Luna hanya bisa mendesah kesal dan berusaha bersikap sopan. Ia tahu siapa yang meneleponnya. Ia akan selalu ingat suara itu.

Ayahnya.
Penyebab Luna pindah ke Jakarta.

"Luna bisakah kau percepat pulangmu?" Suara berat terdemgar dari ujung.

Dengan nada datar, Luna membalas pertanyaan ayahnya itu. "Aku sudah pesan tiket. 2 hari lagi."

"Ibumu sudah kritis Luna, ayah mohon," Saat itu juga Luna ingin sekali berteriak kencang pada ayahnya.

Ia menghela napas sebentar, berusaha mengontrol dirinya. "Baiklah, demi ibu. Akan kupercepat. Dan satu hal, maaf saya tidak menganggap anda ayah saya lagi."

Luna langsung menutup teleponnya dan kembali beberes di rumah kecilnya itu. Ia hanya bisa tersenyum sedih mengingat masa lalunya.

*
*
*
*
*
*

"Rei, kau dimana? Aku sudah hampir dua jam menunggumu dibandara. Kau pikir bandara ini kecil huh?" Luna menelepon kakak laki-lakinya itu. Suara kencangnya membuat semua orang disekitarnya menoleh dengan heran.

Luna berada dibandara Internasional Incheon, Korea Selatan. Sesuai janjinya, ia mempercepat kepulangannya. Bukan dua hari, tapi satu hari. Ia membawa cukup banyak barang. Masih ada banyak barang lagi yang nantinya dikirim dari Indonesia.

Luna mencaci kakaknya sedari tadi. Ia membuat Luna menunggu terlalu lama.

Dari jauh, seorang lelaki paruh baya meneriakkan nama Luna sambil melambaikan tangannya. Luna menoleh dan mendesah lagi. Bukan ini yang ia harapkan. "Luna sudah menunggu terlalu lama ya? Maaf Ayah terkena macet dijalan," Lelaki itu mendekati Luna sambil tersenyum. Luna hanya mendengus. Ia tak berniat menjawab pertanyaan ayahnya. Ia hanya bangkit dari tempat duduknya dan membawa barangnya.

"Sini biar Ayah bantu."

Ingin sekali Luna berkata, 'Tidak usah memegang barangku! Aku bisa sendiri.'

Tapi gadis itu hanya diam. Ia masih punya tata krama, walaupun kadang-kadang ia bisa meledak juga.

Dalam hatinya, Luna memaki kakaknya yang tidak menjemputnya.

Hwayangyeonhwa: Butterfly [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang