6. Menjadi awal pertemuan

23 1 0
                                    

Matahari mulai muncul di ufuk timur, menyinari langit dengan warna lembut. Suasana pagi hari yang sejuk dan dingin sudah tak lagi terasa. Cahaya matahari perlahan menyusup melalui tirai, memberikan sentuhan hangat pada ruangan. Saat ini seharusnya sebagian orang sudah sibuk dengan aktivitas yang mereka jalani. Sedangkan Jevan masih terlelap di balik selimut hangatnya, tanpa mempedulikan nyaringnya suara alarm sejak sepuluh menit yang lalu.

Tidurnya seketika terganggu mendengar seseorang meneriaki namanya dari luar kamar.
"Jevan! Bangun gak lo, Alarm lo berisik banget gila," suara khas itu berasal dari Satya.

Tangan laki-laki itu menggerayangi nakas di sampingnya, mencari keberadaan jam digital yang menjadi sumber suara. Dengan kondisi nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Jevan menapakkan kaki di lantai yang dingin untuk membuka kenop pintu.

"Apaan si berisik banget," Jevan menjawab dengan mata setengah tertutup.

"Alarm lo tuh lebih berisik. Bisa-bisanya baru bangun, Jam 9 nanti ada recording." Jevan hanya berdehem sembari mengusap-usap kedua matanya.

Kemudian Satya menyerahkan handphone milik Jevan yang semalam tertinggal di kantor. "Pulang jam berapa lo semalem? Bisa-bisanya panggilan dari gue ga di jawab."

"Thanks," jedanya sesaat. "Gue pulang jam 12, lagian ngapain si lo telfon segala ganggu orang pacaran aja," Jevan mencibir.

Laki-laki berbalut kemeja coklat itu berdecih, "Cih kayak kumpul kebo."

"Kenapa? Mau ikutan," sepertinya kalimat itu meluncur akibat faktor bangun tidur.

"Najis! Mending mandi sono biar otak lo bersih," Jevan tergelak melihat Satya yang langsung melenggang pergi.

🎤🎤

Aroma buku-buku menyeruak di indra penciuman seorang Shena. Suasana yang sepi dan sunyi sudah menjadi ciri khas dari perpustakaan. Shena sengaja datang lebih pagi dari jadwal kelas karena ada beberapa buku yang sedang ia butuhkan untuk keperluan skripsinya. Suasana di perpustakaan pada pagi hari terlihat tenang dan damai, suara halus langkah kaki dan suara halaman buku yang berbalik menjadi sering terdengar di antara keheningan pagi. Dengan langkah pelan, matanya berusaha meneliti banyaknya judul buku disana. Telunjuknya pun ikut bergerak di antara buku-buku yang berjajar rapi di rak.

Buku yang sedang ia cari tepat berada di rak atas yang membuatnya harus bersusah payah untuk mengambilnya. Semua usaha sudah ia kerahkan tapi tetap saja tangan mungilnya sulit untuk menggapainya. Kakinya berjinjit sekuat tenaga sampai tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir saja terhuyung ke belakang. Namun siapa sangka, terdapat seseorang yang dengan sigap menahan kedua bahunya.

"Awas hati-hati," Ucap laki-laki asing yang mengenakan hoodie berwarna abu.

Shena tertegun beberapa detik mendapati kedua mata laki-laki itu menatapnya begitu dekat. Sebelum akhirnya tersadar dan bergerak sedikit menjauh.

"Mau ambil buku yang mana?" Tanya laki-laki di hadapannya.

"I—itu, yang sampulnya putih," Shena menunjuk buku yang di maksud dengan suara sedikit gagap.

Tangan laki-laki itu lantas terulur untuk mengambilnya tanpa harus mengeluarkan usaha lebih sepertinya.

"Lain kali kalo butuh bantuan ngomong, untung aja tadi gue liat," ucapnya sembari memberikan buku itu.

Shena diam beberapa saat sebelum ia menerimanya, "Makasih ya," balas Shena singkat di sertai anggukan kecil.

"Shena kan?" Kalimat itu sontak membuat Shena sedikit membelalak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis Waktu Kita [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang