5. Hanya ada mereka di kesunyian malam

34 6 0
                                    

Harum vanilla menyelimuti kamar seorang Shena Lavanya. Ruangan yang di dominasi oleh lukisan dengan ornamen kayu membuat kesan aesthetic. Semua lukisan yang menempel di dinding merupakan hasil karyanya selama ini. Tetapi, dari banyaknya lukisan yang ada, terdapat satu lukisan yang ukurannya lebih besar dari lukisan lainnya. Letaknya berada di sudut ruangan dekat jendela.

Lukisan itu merupakan wajah laki-laki bernama Jevan Adinata. Walaupun terlihat belum sempurna, tetapi Shena akan berusaha untuk menyelesaikannya sebelum ia wisuda. Lukisan yang akan ia persembahkan sebagai hadiah untuk Jevan, atas perjuangan yang telah di laluinya. Hanya ini yang dapat Shena berikan—berharap lukisan ini akan menjadi suatu barang yang bernilai berharga untuk Jevan.

Sudah hampir dua jam ia berkutat dengan laptopnya. Jari-jemarinya bergerak di atas keyboard, di temani oleh kumpulan buku-buku di atas meja. Tahun ini merupakan tahun terakhirnya menjadi seorang mahasiswi, berharap lulus dengan IPK terbaik dan dapat segera membuka galeri seni yang selama ini menjadi impiannya. Andai saja kehidupan berjalan semulus itu.

Agenda hari ini sebenarnya adalah melukis bersama Jevan. Namun entah mengapa, hingga sore ini Jevan belum juga ada kabar. Shena beberapa kali mengecek ponselnya, berharap notifikasi muncul dari sang pacar.

"Jevan gak mungkin lupa kan," Shena bermonolog sembari menatap bingkai foto di hadapannya. Di dalam foto itu, terdapat ia dan Jevan yang tengah menggambar bersama saat kecil.

Pukul 19.00
Shena terduduk di sofanya dengan perasaan cemas. Matanya terus memandangi ponsel di atas meja sembari menggigit kuku-kuku jarinya.

"Telfon aja kali ya, tapi kalo nanti ganggu gimana?" Ucapnya pada diri sendiri.

Sedari tadi tangannya gemas ingin melakukan panggilan telfon. Tetapi, niatnya selalu ia urungkan karena takut tindakannya akan mengganggu aktivitas Jevan. Shena sudah mencoba mengirimkan pesan namun belum juga ada jawaban. Mungkin, Jevan memang sedang sibuk sampai tidak sempat untuk memegang ponsel.

Tak berselang lama, suara bel pintu terdengar membuat Shena buru-buru untuk membukanya.

"Jevan," sesuai harapan. Laki-laki itu berdiri di hadapannya dengan nafas tak beraturan.

"Maaf ya aku telat, seharian ini aku gak sempet pegang handphone."

Terdapat jeda di setiap kalimatnya, dengan nafas memburu Jevan berusaha untuk menjelaskan semuanya. Dapat di pastikan jevan sangat terburu-buru untuk sampai kesini.

"It's okay, aku ngerti ko. Soalnya aku yakin kalo kamu pasti dateng," balas Shena di susul dengan senyum manisnya.

🎤🎤

Bulan dan bintang menghiasi langit cerah malam ini. Lampu yang menghiasi sejumlah gedung beserta jajaran lampu jalan terlihat indah dari balkon apartment. Minimnya bising kendaraan menjadikan tempat ini nyaman untuk melukis. Rencananya, sore tadi mereka akan pergi ke sebuah taman. Tapi terpaksa di batalkan karena Jevan terdapat keperluan lain. Namun tak masalah, melukis di tempat ini juga sudah menyenangkan bagi Shena.

Di hadapan mereka sudah ada kanvas dengan ukuran sedang dan beberapa peralatan melukis lainnya. Di temani beberapa snack dan cemilan manis. Shena mulai mengoleskan beberapa warna di atas kanvas, menuangkan semua imajinasinya melalui sapuan-sapuan kuas. Lain halnya dengan Jevan, laki-laki itu masih berkutat dengan pikirannya yang entah ingin melukis apa. Termenung, memikirkan gambar apa yang cocok untuk di lukis dan sesuai dengan kemampuannya.

"Kamu kapan mulainya dari tadi bengong terus?" Shena menyadari Jevan hanya memandangi kanvasnya.

"Aku ga ada ide sama sekali, yang di pikiran aku cuma gambar gunung sama sawah," ucapnya sambil menyelipkan kuas di antara telinganya.

Garis Waktu Kita [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang