33 - The Bullet

2.5K 223 40
                                    

Even if you know what's coming, you're never prepared for how it feels---Natalie Standiford, How to Say Goodbye in Robot

Cameron.

"Siapa kau sebenar nya?" Aku bertanya saat JC menuangkan telur dadar dan bacon di atas piring ku sebagai sarapan.

Ia meletakan lagi wajan panas nya di atas kompor, dan memecahkan dua telur sekaligus, "Apa maksud mu?"

"Bagaimana kau bisa mau membantu Stecy? Dia membayar mu?"

JC tertawa, "Kita saudara, man. Aku melakukan nya sebagai sukarela."

Aku tau itu. Aku mendengar nya di mobil. Namun aku tetap bersikap bahwa aku tidak mendengar apapun, "Benarkah?"

Ia berjalan ke arah kulkas dan membuka nya, ketika Nash datang dan menyeret kursi untuk duduk bersama ku, "Ya, tentu. Ayah ku adalah adik kandung dari Will."

"Kau pasti bercanda," Nash tertawa, "Ernest pernah bilang padaku kalau Will itu anak tunggal."

Aku melirik Nash, walau ia tidak menyadari arti lirikan ku. Bagaimana ia bisa tau hal yang penting dari Ernest, yang tidak ku ketahui? Dan segera aku ingat. Efek meninggalkan mereka berdua pada koma pura-pura ku.

"Lagi pula," JC menuangkan susu ke beberapa gelas secara berurutan, "Aku harus membayar hutang Ayah ku pada Ayah nya."

Aku menoleh ke belakang mencari Ernest. Saat aku bangun ia masih tertidur pulas di sofa ruang utama dengan televisi yang menyala. Dan aku baru ingat kalau aku menemani Ernest mengisi waktu insomnia nya dengan menonton televisi bersama di sofa, dengan selimut dan beberapa kaleng soda. Dari sini, aku hanya dapat melihat kepala nya, ia masih terlelap.

"Apa yang terjadi?" Nash bertanya.

JC berhenti. Kemudian mengambil dua gelas susu dan meletakan nya di hadapan aku dan Nash, lalu ia menatap Nash seperti ingin meledak, "Pelaku nya adalah teman Ayah ku."

"Apa?" Nash mengerutkan dahi, "Bagaimana bisa?"

"Aku tidak akan menyebarkan nya pada kalian, tapi hal yang perlu kalian tau adalah," JC menatap ku, "Teman Ayah ku menjebak Will. Ayah ku tidak tau kalau orang yang ia percaya setengah mati itu punya niat licik pada Will yang sangat kaya raya saat itu."

"Harta?" Aku bertanya.

JC menggeleng, "Tak hanya itu."

Aku menaikan alis meminta jawaban.

"Entah lah, kedudukan?" JC kemudian duduk di depan ku, menyantap sereal dingin nya dengan lahap, "Ernest harus pergi sekolah."

"Kau tetap akan membiarkan itu terjadi?"

"Ya, dia harus sekolah. Teman ku akan menjaga nya, kau tidak perlu khawatir."

"Aku tidak ingin di tertawakan satu sekolah karena terlihat bersama seorang nanny." Kami semua menoleh dan di hidangkan oleh wajah setengah sadar Ernest dengan rambut kemerahan nya yang berantakan.

"Hei!" JC menyapa di campur tawa dan senyuman lebar, "Selamat pagi!"

"Bagaimana dengan Ayah ku? Dia akan berfikir kalau aku membolos hari ini."

JC tersenyum, "Semua beres."

"Um, aku sedang serius sekarang.." Ernest menatap JC tidak yakin.

"Yeah, dia percaya pada ku."

Ernest menoleh sedikit pada ku yang sedang menatap nya, dan mengalihkan lagi pandangan nya ke tempat lain. Namun menit selanjut nya ia sudah siap untuk berangkat. Aku bertanya ketika ia menunggu JC bersiap, dari mana ia mendapat sweater hijau tua rajutan yang terlihat begitu tebal dan hangat, dan celana jeans hitam yang jelas bukan celana yang ia kenakan kemarin, celana itu lebih terlihat longgar dan masih kaku, sangat terlihat baru. Ernest hanya menggeleng dan tersenyum miring, "Dia benar-benar menyiapkan segala nya."

Opposites 3 [c.d]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang