Karena cinta duri menjadi mawar. Karena cinta suka menjelma anggur segar? --Jalaluddin Rumi
Cameron.
Aku tidak bisa menahan rasa penasaran untuk lebih lama lagi.
Aku bangun, mencoba untuk membuka infus ku tapi aku jadi ngilu ketika itu malah berdarah. Jadi aku menyambar tiang insuf ku dan menggeret nya keluar. Langkah ku sedikit terseok karena sudah lama tidak berjalan sungguhan selain jalan di tempat setiap malam bila aku mengalami insomnia.
"Demi apapun!" Nash berteriak dengan wajah super duper kaget nya muncul dan mematung ketika melihat ku keluar, "Astaga teman ku bangun!!"
Aku mengoper senyuman lemah pada nya dan langsung menjatuhkan diri di sofa, Nash melompati sofa dan berdiri di depan nya dengan wajah tiga kali lebih kaget sekarang, "Oh my God! Cam! Kau kembali! Kau tau kau sudah tidur berapa lama?! Kau tau kau tidak mandi berapa hari?!"
"Kecilkan suara mu," kata ku lemah, "Bisa mengganggu tetangga."
"Bagaimana bisa?! Kami menunggu mu berabad-abad!" Nash kini mengeluarkan ponsel nya dan langsung menelfon seseorang dan berteriak-teriak di sana kalau aku sudah bangun, ia menelfon sebanyak mungkin lima orang sambil berteriak dan meminta ku mengucapkan sepatah kata agar orang di telfon itu percaya.
"Aku butuh air, tolong." Kata ku lemah dengan susah payah. Keronggongan ku sangat kering sekarang, efek dari tidur dalam waktu yang lama ternyata juga tidak enak, "Dan makanan. Yang banyak."
Nash buru-buru mengambilkan aku sebotol air yang ada di samping televisi, entah itu milik siapa aku langsung meminum nya sampai habis, ia juga memberi ku dorritos setengah isi, roti lapis, dan beberapa permen mint.
"Astaga," kata ku sambil melahapnya, "Aku nyaris lupa rasa dari makanan-makanan ini."
"Kau baik-baik saja?" Nash bertanya, aku mengacungkan jempol sambil meminum, dan menghela nafas lega ketika air sudah habis.
"Apa kau yakin tidak butuh sesuatu selain air?" Nash begitu panik sehingga mata nya terus membulat dan wajahnya menegang, "Aku belum pernah mengurusi orang mati suri!"
Aku tertawa pendek, "Sialan, aku tidak mati suri. Bodoh."
"Lalu kau ini apa?"
"Terjebak dalam ruang waktu."
Nash mengacungkan jari tengah nya. Aku tidak punya energi untuk terbahak-bahak jadi aku cuma senyum. "Oke aku tertidur. Aku terjebak di alam mimpi. Tanggal berapa sekarang?"
"9 Juni. Cam, apa kau serius? Karena kau berperilaku seperti orang bangun tidur biasa."
"Memang. Bagaimana?" aku mengangkat alis, "Kau merindukan ku, bro?"
"Lebih tepat nya mengkhawatirkan mu! Kau ini gila sekali! Tidak bangun-bangun sampai pasien lain harus menunggu giliran kamar di RS!"
"Nash, biarkan aku beristirahat sejenak; berjalan dan sebagainya karena kaki ku terasa kaku sekali."
"Sumpah, ini hal tergila yang pernah ku alami selama di New York! Tapi kenapa, Cam?" Dia duduk di samping ku, "Kenapa kau melakukan hal itu? Kau berhadapan dengan maut, itu nyaris sekali!"
"Kita tidak harus selalu berkata tidak untuk menolong orang yang sudah menjatuhkan kita, seburuk apapun orang itu, siapa sangka bila ia akan berubah ketika kita menolong mereka?" ujar ku perlahan, "Aku menaruh harapan untuk nya, agar ia sadar."
"Menaruh harapan, atau menukar jiwa?"
"Oke sebut saja itu keadaan darurat, siapa yang tau kalau berat badan nya membuat tubuh ku berputar?" aku mengalah, "Aku juga tidak mau itu, aku masih ingin punya anak."
Ponsel Nash berdering, ia menjatuhkan pandangan nya ke layar ponsel lalu menatap ku, "Tebak siapa yang sedang dalam perjalanan."
"Kemana?"
"Kesini."
"Siapa?"
"Keluarga mu."
"Oh ya tuhan, aku merindukan mereka."
"Kau sungguh tidak pantas berkata seperti itu." Canda nya, "Sialan kau ini."
Nash memberiku saran agar aku mandi, aku kaget sekali saat kulit ku menyentuh air. Rasanya sudah lama sekali tubuh ini kering dan terasa kasar. Rambut ku juga sedikit lebih panjang dari yang ku ingat. Aku nyaris lupa kalau air mengalir ke daerah yang lebih rendah saat melihat genangan busa sabun masuk ke lubang pembuangan. Nyaris.
Aku berdiri di depan pintu untuk memberi mereka kejutan. Saat pintu terbuka, ibu ku berteriak dan menangis ketika melihat ku tersenyum bahagia. Sierra berulang kali berbisik 'Oh my God!' dan menutup mulut nya dengan kedua tangan sambil melotot. Aku memeluk dua wanita cantik ini se-erat yang ku mampu.
"Kau terlihat sangat sehat, sayang ku, ya ampun, ibu tidak percaya!" ucap ibu ku sambil menggiring ku duduk di sofa bersama nya, aku terus memeluki pinggul ibu ku yang menangis sambil menyengir.
"Bagaimana keadaan mu sekarang?" aku bertanya.
"Tidak, bagaimana keadaan mu, anak ku?" ia balik bertanya. Benar, seharusnya aku yang di tanya.
"Sangat senang, aku sangat bahagia. Aku baik-baik saja, percayalah. Hanya tidur panjang."
"Kita nyaris kehilangan mu!" jerit ibu ku sambil mengusap-usap rambut ku yang setengah basah.
"Terdengar seperti semua orang takut kehilangan diriku," canda ku sambil tertawa, "Bu, percayalah, aku tau apa yang ku lakukan."
"Tentu saja aku tau, kau yang tidak tau. Ibu sangat marah pada mu, Cam."
"Kau ini bukan kucing, ya ampun!" Sierra menyambar sambil terus membuka mata nya lebar-lebar.
Aku mengelah nafas berat, sebuah pemborosan bagi paru-paru, "Setidaknya, aku disini sekarang. Bersama kalian semua. Apakah tidak cukup?"
Sierra cemberut diiringi tetesan lembut air mata di pipi nya dan melangkah tapi aku tau dia akan memeluk ku erat dan dia melakukan nya, begitu pula Ibu ku yang lalu mencium pipi ku.
"Sudahkah kau kabari yang lain kalau kau siuman?" Sierra bertanya ketika melepas pelukan nya. Ketika pertanyaan itu terespon oleh otak ku, otak ku membalas dengan sebuah nama, 'Ernest'. Aku menggeleng, "Aku belum pegang ponsel. Ngomong-ngomong dimana ponsel ku?"
"Oh ya, ibu ambilkan." Ibu ku melangkah pergi ke kamar nya, ketika Nash berseru,
"Oh ya Tuhan! Aku belum kabari Ernest!"
"Gadis itu seharusnya tau sekarang," sambar Sierra.
"Ya, aku akan kabari dia." ujar Nash.
Ibu ku kembali sambil menyodorkan ponsel ku, "Ini dia."
Aku berterimakasih dan tidak melakukan apapun dengan ponsel ku, karena Nash sudah melakukan nya duluan. Aku ingin mengubur rasa ingin tau ku tentang percakapan mereka berdua kemarin. Kenapa Ernest tidak ingin berada dirumah? Ernest adalah tipikal perempuan penyendiri yang dulu nya ogah berduaan dengan cowok, apa lagi dengan cowok yang dua tahun lebih tua dari nya, sebelum Matt menjauhi nya dulu. Jadi rasanya sangat mengganjal apabila ia mau bermain ke apartemen kami dimana hanya ada Nash. Walau ia sudah berubah, tapi aku percaya kebiasaan itu tidak langsung hilang pada diri nya. Apalagi Nash bukan pacar nya.
Bel berbunyi dua kali, lalu datang sebuah ketukan, kami semua menoleh ke pintu utama. Aku sempat mati penasaran siapa yang ada di belakang pintu, aku lalu berharap lebih itu dia. Namun saat Sierra bangkit dan berkata, "Oh itu pasti Brent. Dia bilang dia ingin menyusul tadi." aku berpaling. Sierra membuka pintu dan berseru lembut, "Hei, Ernest! Apa kabar?"[ ]
a/n
Supp fellas! Maaf ya kemaren bilang nya seminggu sekali update, setelah gue pikir pikir kok lama banget 1 bulan cuma 3-4 chapters jadi gue mau tambahin hari sabtuuuu yeyyQuestion of the chapter: Nash rambut panjang kayak sekarang / Nash rambut pendek ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Opposites 3 [c.d]
FanficSaat Cameron belum bangun juga, seluruh doa dan lamunan malam Ernest disuguhkan padanya. Bukan hanya kekhawatiran tentang kondisi Cameron, Ernest juga di kejutkan dengan kabar baru lain dari ayah angkat nya yang kini menjadi incaran orang jahat, keb...