LAKI-LAKI itu kembali meremat kesepuluh jarinya yang basah oleh keringat dingin. Berulang kali, ia merapal doa tanpa suara. Seolah dengan demikian, segala perasaan gundah yang kini menghantam dadanya bisa sedikit reda.
Batara Prabu Alamsjah, laki-laki itu, kemudian menolehkan pandangan ke arah pintu ruang ICU yang masih geming dan tertutup rapat.
Empat puluh menit yang lalu, tim dokter membawa istrinya memasuki ruangan tersebut akibat pendarahan hebat yang dialaminya. Yang Batara ingat, tadi dia masih berada di kantor ketika asisten rumah tangganya mengabarkan bahwa Elena mengalami pendarahan hebat saat hendak ke kamar mandi. Belakangan, kondisi kesehatan sang istri memang menurun meskipun usia kehamilan pertamanya baru menginjak bulan kedelapan. Kendati berulang kali Batara mengingatkan supaya sang istri tidak melakukan pekerjaan yang berat, tetap saja hal-hal seperti ini benar-benar berada di luar kendalinya.
Ya Tuhan, tolong selamatkanlah istri dan calon anakku.
Lagi, Batara meminta dalam hati. Semakin detik bergerak melalui arloji di tangannya, semakin kekhawatiran muncul dan meremat-remat ulu hatinya.
"Tuan Batara?"
Baru ketika kosen putih di hadapannya akhirnya terbuka dan suara tersebut menggema di telinganya, Batara tak bisa lagi menahan diri untuk menghampiri dokter yang kini sibuk melepaskan sarung tangan lateks dari kedua tangan. Menelusuri makna dari ekspresi lelah sang dokter, Batara menggigit bibirnya, mencoba memantapkan hati akan apapun berita yang akan didengarnya.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Batara tak bisa mengenyahkan getar pada suaranya. "Apakah istri dan anak saya baik-baik saja?"
Yang disebut namanya, tak bisa memberikan respons lain selain menundukkan kepalanya dengan lunglai. Seraya menjatuhkan satu tangannya ke bahu Batara, sang dokter berkata dengan nada penuh penyesalan.
"Kami sudah berusaha semampu kami, Pak Batara."
Pada detik ketika jawaban itu menyentuh gendang telinganya, Batara bisa merasakan kedua kakinya berubah lemas. Laki-laki itu juga bisa merasakan matanya yang perlahan memanas dan terasa perih.
"Kami berhasil mengeluarkan bayi dari perut istri anda, Pak, laki-laki," jawab sang dokter yang kini terdengar samar di telinga Batara. "Namun karena pendarahan hebat yang dialami oleh Bu Elena, kami tak bisa menyelamatkannya."
Tangis yang sejak tadi coba ditahannya, seketika pecah bersamaan dengan kalimat terakhir yang diucapkan sang dokter. Tanpa peduli dengan apapun lagi, Batara membawa kedua kakinya masuk menerobos ruang ICU yang setengah terbuka.
Di atas brankar yang dikelilingi beberapa perawat yang sedang merapikan peralatan operasi, ketakutan terbesarnya serta-merta menjelma. Seorang bayi laki-laki menangis kencang di samping sesosok perempuan yang telah lelap dalam tidur nyenyaknya.
Untuk selamanya. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER WITH YOU
RomanceSekalipun, Aruna Giandaru tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Batara Prabu Alamsjah akan membawanya pada pelik kehidupan lelaki itu. Berawal dari pertemuan keduanya di sebuah daycare tempat Aru bekerja paruh waktu, hidup pemuda itu lan...