Fan Letter-One Shoot

56 5 0
                                    

Just For Fun. Cuma Fiksi, Bukan Nyata!

Jangan Lupa Votenya :)

Yang Minta Lanjut, Komen!

;

Senin, 18 Desember 2023, tujuh hari menuju hari natal. Jessi duduk di ruang sarapan sembarimengutak atik layar handphonenya. Beberapa potong roti, selai, dan susu tak ia hiraukan. Selang semenit kemudian, ia meninggalkan ruang sarapan dan masuk ke dalam kamarnya.

Setelah bosan mempelajari koreo gerakan terbaru untuk persiapan shownya bulan depan, remaja berambut panjang itu membuka pintu kamarnya tapi, pandangannya teralihkan pada pohon natal yang telah terpasang di pojok ruang tamunya.

Pohon natal itu terlihat sangat indah dengan hiasan bintang di pucuk. Bola, lonceng dan kijang semakin menyemarakkan tampilannya. Sisa menunggu tumpukan kado natal yang akan mengelilingi pohon natal itu.

Hadiah apa yang akan aku dapatkan tahun ini? tanya Jessi dalam hati. Sejak meninggalkan ruang sarapan tadi, handphonenya terus menerus berbunyi. Remaja berkulit putih itu tak berselera menyantap sarapannya hari ini. Baginya, berada seorang diri di ruang sarapan menyantap makanan tampak seperti orang yang sangat kesepian.

Ibunya menelfon, mengatakan bahwa akan pulang di tanggal 23 Desember, dua hari sebelum natal tiba. Ibunya begitu sibuk, sama seperti Ayahnya yang akan pulang saat Jessi dan kedua adiknya tertidur pulas. Tepatnya pada pukul 02.00 dini hari.

Adiknya yang bernama Aprilio terus saja berlari-lari di lantai dua. Jessi sedikit kesal, ia mencabut earphonenya dari telinga. "Mengapa suara kakinya begitu menusuk seolah menancap lantai?"

"Karena kakinya begitu tebal," sahut Fely yang sejak tadi duduk di ruang tamu mengerjakan tugas sekolahnya. Meski mendekati hari spesial, sekolahnya tetap memberi pelajaran dan tugas tambahan. Maklum, sekolah elit.

"Pasti cece tidak sarapa lagi. Aku dan Aprilio telah bangun duluan untuk sarapan. Ce Jessi sering kesiangan akhir-akhir ini. Kami tak kuat menunggu cece bangun." Fely kembali dengan aktivitasnya. Tanpa memperdulikan lagi apa yang saudara perempuannya itu ucapkan.

"Ya, aku tak apa. Aku akan sarapan di teater saja," kata Jessi dengan datar.

***

Dalam perjalanan, Jessi hanya memandang keluar dari kaca mobil. Sesekali menengadah, mengeluarkan kepalanya saat gedung teater yang berada di lantai empat mall itu sudah terlihat. Itu adalah satu-satunya tempat yang dapat membuatnya mengeluarkan segala ekspresi.

Akhirnya ia tiba di lobi. Dari kejauhan terlihat dua orang remaja tengah berlari menuju ke arahnya. "Hey, kenapa kau begitu lama?" tanya remaja yang bernama Olla. Wajahnya cantik, khas perempuan turunan Batak.

"Terjebat macet?" tanya remaja kedua, rambutnya pendek, badannya agak lebih berisi ketimbang Jessi dan Olla. Saat tertawa, dua gigi depannya nampak seperti kelinci, kurang lebih seperti itu. Namanya Adel.

"Mana mungkin macet pada jam segini, ini sudah siang," jawab Jessi. "Ayo jalan!" seru Jessi berjalan menaiki lift menuju lantai empat bersama dua sahabatnya.

Tiba-tiba, Adel menyodorkan sebuah surat. "Ini, fan latter."

"Siapa?" tanya Jessi dengan santai.

"Mana aku tahu, itu 'kan fans mu," balas Adel dengan sedikit senyuman.

"Mengapa suratnya bisa ada padamu?" Olla bertanya dengan kening berkerut seperti seorang penyidik.

Fan LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang