⋆。˚. ੈ
Sejak lima menit lalu, Hermione memperhatikan setiap gerak-gerik Kate. Bagaimana gadis itu menoleh kiri-kanan seperti mencari seseorang kemudian menunduk takut-takut. Mereka telah tiba terlebih dahulu untuk kelas Pertahanan Ilmu Hitam dan dalam kurung waktu itu juga Kate grasak-grusuk tak tenang di tempatnya duduk. Berulangkali menatap sekeliling ruangan, lantas mengerjap kaget saat tangan Hermione mendarat tepat di pundaknya.
"Kau mencari seseorang?"
"Ti-tidak."
"Lalu?"
Kepala pirangnya beralih dari pintu dan menatap wajah Hermione agak heran. "Lalu apanya?"
"Aku merasa kau seperti menyembunyikan sesuatu, Katie." Firasatnya mengatakan demikian. Entahlah itu aneh saat Kate meminta tolong untuk menginap di asrama Gryfffindor dengan bantuan Jubah Ajaib milik Harry semalam setelah mereka keluar dari Aula Besar.
"Kau tahu, aku tidak mungkin melakukan itu." Jawabnya sungguh-sungguh, kembali memeriksa sekitar.
"Tapi—"
Hermione terdiam sejenak, memastikan apakah pengelihatannya saat ini salah atau benar— gadis di sampingnya berbalik cepat setelah beradu pandang dengan Draco Malfoy yang masuk bersama Nott dan Zabini, lantas pura-pura menulis. Itu aneh.
Dia tak lanjut bertanya dikarenakan Professor asing masuk ke dalam kelas.
"Alastor Moody." Pria dewasa semalam yang kini berstatus sebagai Profesor Pertahanan Ilmu Hitam memperkenalkan diri. Beralih menuliskan sesuatu di papan tulis.
"Mantan Auror, orang yang tidak puas terhadap Kementerian, dan guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam kalian yang baru. Aku hadir karena Dumbledore memintaku. Akhir cerita, selamat tinggal, tamat. Ada pertanyaan?" Bungkam, itu yang dilakukan oleh semua orang. Bahkan Hermione yang terkenal suka bertanya pada guru memilih tak bertanya. Aura di ruangan ini seakan memaksa para murid untuk tidak membuka mulut.
"Terkait Ilmu Hitam, aku meyakini pendekatan praktis. Namun, pertama-tama siapa yang bisa memberitahuku ada berapa Kutukan Tak Termaafkan?"
"Tiga, Sir." Kate meringis— otak Hermione mirip seperti aliran air. Lain halnya kalau Kate, baru saja memulai kelas sudah merasakan kantuk luar biasa.
"Kenapa dinamakan begitu?"
"Karena tak bisa dimaafkan. Pengunaan salah satu dari ketiga kutukan itu akan—"
"Akan memberimu tiket ke Azkaban tanpa bisa kembali. Tepat." Professor Moody melanjutkan. Menekan setiap kata, pun tulisan di papan tulis terdengar ngilu.