Di sudut jalan raya Dago yang penuh dengan keramaian dan cerita, sebuah cafe kecil bernama "Café Aurora" terletak di tengah hiruk-pikuk kota Bandung. Pada sore yang indah di tahun 2015, matahari bersinar cerah di langit dan menciptakan bayangan yang menarik di seluruh kota.
Di sudut terpencil cafe, duduklah seorang wanita berusia 25 tahun bernama Nuri. Rambutnya yang panjang dan keriting menutupi setengah wajahnya, menciptakan privasi yang dia begitu butuhkan. Dia membuka buku yang selalu menemaninya, "Ketika Malam Menyapa" karya Haruki Murakami. Halaman pertamanya telah terlipat berkali-kali, menunjukkan betapa Nuri telah membolak-balik buku itu dalam berbagai momen krisisnya.
Nuri adalah seorang pasien bipolar. Bagi orang-orang di sekitarnya, dia adalah sosok yang misterius. Suatu hari dia bisa ceria dan energik, sementara di hari lainnya dia tenggelam dalam depresi yang dalam, hilang dalam pikirannya yang gelap. Tapi ada satu hal yang selalu konsisten dalam hidupnya: kerinduannya untuk menjadi bagian dari dunia luar.
Kafe Aurora, dengan meja kayunya yang rusak dan aroma kopi yang menggoda, telah menjadi tempat pelarian Nuri. Ini adalah tempat di mana dia bisa bersembunyi dari mata dunia luar dan merenung tentang eksistensinya yang bertentangan.
Saat ini, pelayan cafe, seorang wanita muda dengan senyuman hangat, datang menghampiri Nuri. "Apa lagi yang ingin Anda pesan, Nuri?" tanyanya dengan ramah.
Nuri menyadari bahwa dia telah lama duduk di sana tanpa memesan apapun. "Maaf, saya akan pesan kopi hitam, tolong," ucapnya, tersenyum kecil pada pelayan itu.
Setelah pelayan pergi, Nuri melihat keluar jendela dan memandang ke arah pegunungan yang mengelilingi Bandung. Dia merenung tentang perasaannya yang selalu berubah, tentang betapa sulitnya berinteraksi dengan orang lain, tentang pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya di malam-malam gelap.
Tiba-tiba, seorang pria dengan topi yang rendah dan rambut berantakan duduk di meja sebelahnya. Dia meraih buku yang sama dengan Nuri, "Ketika Malam Menyapa," dari tasnya dan tersenyum kecil padanya. "Saya suka buku ini juga," ucapnya.
Nuri, yang biasanya cenderung menjauhi orang asing, merasa terkejut oleh kehadiran pria ini. Tapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatnya merasa lebih nyaman. "Benarkah? Saya Nuri," ucapnya perlahan.
Pria itu mengulurkan tangan. "Saya Agus," katanya. "Kita bisa membaca buku ini bersama, jika Anda mau."
Seketika, Nuri merasa ada ikatan yang aneh dengan Agus, seolah-olah mereka adalah dua jiwa yang sama-sama hilang di tengah kebingungan dunia ini. Mungkin, mungkin saja, inilah awal dari perjalanan Nuri menuju pemahaman tentang eksistensinya yang rumit.
Mereka duduk di kafe itu, membaca buku bersama,dan dalam diam, mereka saling mengerti tanpa perlu banyak kata. Sementaramatahari terus bersinar di atas Bandung yang sibuk, Nuri dan Agus merasakankilauan kecil dalam kegelapan yang mengelilingi mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bintang di Kota Bandung
RomanceNovel ini, memperkenalkan kita pada kota Bandung yang memesona dengan latar belakang pegunungan dan hamparan sawah yang memeluknya. Di tengah kehidupan yang bersemangat di kota ini, sebuah kisah menarik tentang eksistensi, cinta, dan pertemuan tak t...