- Prolog -

1.1K 62 1
                                    

Sebuah tangan yang keriput itu menggenggam tangan seorang gadis, ia tersenyum manis. 

"Kalau mau berharap, jangan takut tidak akan terkabul," Wanita renta itu berucap lirih sedikit terbata. Tubuh lemahnya terbaring di atas sebuah kasur, yang seharusnya muat untuk satu orang lagi. 

Wanita itu menatap jendela besar di kamarnya yang berarsitektur khas zaman dahulu dengan sedikit sentuhan nuansa ukiran Belanda.

"Di luar hujan ya?" Tanya nya pada para cucu-cucunya.

"Iya, Oma. Akhir-akhir ini sering hujan, memang sudah waktunya musim berganti," Jawab salah satu cucunya yang paling tua.

"Bisa saja karena seseorang yang tengah merindu, tidak selalu tentang musim," Wanita itu tersenyum.

"Kenapa Oma selalu menggenggam sapu tangan itu?" Tanya sang cucu tengah.

Wanita tua itu membelai lembut sapu tangan yang dipegangnya, dan membuka lipatannya dengan perlahan.

"Sehelai benang!?" Mereka semua begitu heran dengan benda yang selalu disayang Omanya itu. Daripada sepiring nasi, ia lebih sering menggenggam sapu tangan yang ternyata berisi sehelai benang itu.

Sang Oma hanya tersenyum. "Apa yang berharga dari sehelai benang, Oma?" Tanya cucunya yang paling besar. Ia berpikir jika di zaman seperti ini sudah terlalu kuno untuk menjaga sebuah barang yang bahkan tak lazim untuk disimpan, apalagi untuk sehelai benang. Bisa-bisa semua orang akan berpikir itu adalah sebuah bahan guna-guna!

"Sangat berharga, Anindya," Jawab Sang Oma dengan lembut kepada cucu tertuanya yang ternyata bernama Anindya yang masih mengernyitkan dahinya kebingungan.

Benang itu kemudian dikeluarkannya dari sapu tangan dan dilingkarkan ke pergelangan ramping milik Anindya.

"Wajah kamu, sangat mirip dengan wajah Oma di masa muda. Kamu mengingatkan Oma dengan seorang gadis lincah dikala dulu," Wanita itu membuat tali simpul dan menjadikan benang tadi menjadi sebuah gelang.

"Tolong jaga barang ini ya, Oma percaya denganmu," Anindya mengangguk menahan haru, ia merasa Oma sudah memiliki firasat jika ia akan segera pergi. Anin tahu, Oma adalah wanita berinsting kuat, sekalipun itu tentang kematiannya yang bahkan Anin pun tak tahu kapan itu. Ia juga sebisa mungkin akan menjaga barang itu, bagaimanapun ini adalah sebuah amanah dari seseorang kesayangannya.

Wanita renta itu kembali memandang hujan yang semakin deras disertai gemuruhnya.

"Waktu hujan adalah waktu yang tepat untuk berdoa, jadi berdoalah yang baik," Lanjutnya.

"Lalu...Oma mau berdoa apa di hujan kali ini?" Wanita itu kembali tersenyum, kali ini cucunya yang paling kecil yang berbicara.

"Andai saja..., kalau oma masih diberi umur panjang, nenek akan menari di tengah hujan sampai puas," 

Mendengar kalimat itu dirinya tertawa, namun tidak bagi cucu-cucunya. Mereka semakin erat menggenggam tangannya, seakan tak rela nenek kesayangannya pergi dari dunia ini.

"Oma jangan bercakap seperti itu, pastilah oma akan berumur panjang," Ucap Anindya seraya menahan air mata agar tak jatuh.

"Ya, oleh karena itu Oma berdoa..., tapi kalau ternyata harapan Oma sudah tak bisa diterima lagi oleh Tuhan, Oma harus ikhlas, kalian pun begitu. Dan kalau ternyata oma pergi pada saat hujan turun, janganlah menjadi sebuah alasan untuk tidak menguburkan oma. Justru Oma akan senang jika hujan menyambut kematian Oma," Wanita itu bercakap dengan senyuman, seakan kematian bukanlah suatu hal yang menakutkan lagi baginya.

Ia yakin, setelah menikmati sebuah siksa kesepian bertahun-tahun lamanya, di hari kematiannya nanti ia tak akan kesepian lagi. Ada seseorang yang tengah menunggunya di sebuah pintu maut yang mulai terbuka lebar untuknya.

****

Halo...semoga suka yaa dengan permulaannya 💓

Dan semoga harimu menyenangkan!🌹

- Dimplechocolat -

HOPE - PIERRE TENDEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang