22. Pagi Yang Buruk

179 26 0
                                    

Pagi ini kicauan burung serta belaian lembut sinar matahari yang hangat membangunkannya dari tidur panjang setelah hampir lewat tengah malam ia menikmati waktu bersama teman- temannya di sini. Gadis itu bangkit dari ranjang dan meraih kruknya untuk mengambil segelas air yang berada di atas meja dan segera menenggaknya habis tak bersisa.

Tangannya yang segera menaruh gelas sempat terhenti ketika melihat di luar jendela tampak Pierre yang seperti terburu- buru mendekati mobil Jeepnya. Gendhis menatap kalender di dinding ruangan, ia tak salah, hari ini adalah hari Minggu, tidak mungkin ia berangkat kerja - atau memang ada urusan mendadak.

"Mau kemana sepagi ini?"

Dengan cepat Gendhis memposisikan kruknya, cepat-cepat berjalan menghampiri Pierre di halaman depan. Namun ia tiba-tiba berhenti, ia menatap kakinya dan menggerakkan jemarinya ringan. Perlahan tangannya melepaskan alat yang selama ini membantunya berjalan. Ia menghentak-hentakkan kakinya, memastikan benar ia sudah bisa berjalan tanpa alat bantu.

Gadis itu tersenyum lega. "Syukurlah,"

Hampir lupa dengan tujuannya, cepat-cepat ia melanjutkan langkahnya dan dengan kaki yang masih sedikit pincang itu ia akhirnya meraih halaman depan.

"Mas Pierre!"

Bahu lebar yang tengah membelakanginya itu seketika berbalik mengetahui namanya dipanggil. Pria berambut cepak itu tersenyum, merubah wajah datar yang tampak tegas menjadi eskpresi yang menyenangkan.

"Gendhis?" Pierre memperhatikan ujung kaki Gendhis hingga ujung kepala. Dengan cepat ia mendekati gadis ayu itu, ia meraih kedua bahunya dan menatap sepasang mata yang penuh binar itu.

"Sudah sembuh?" Tanya Pierre sembari kembali melihat kaki polos gadis itu yang sudah mampu menopang tubuh mungilnya.

Gendhis mengangguk. "Sudah!" Gadis itu memutar badannya, menunjukkan bagaimana ia sudah bisa berjalan dengan baik. Tawa kecil terdengar ketika tubuh Gendhis kembali menghadap Pierre setelah menyelesaikan satu putarannya. Pierre ikut tertawa, ia sangat senang melihat senyuman lebar itu kembali muncul di wajah Gendhis.

Teringat tujuan awalnya ia menghampiri Pierre, Gendhis segera memotong topik kesembuhan kakinya.

"Ah ya, Mas Pierre tadi tampak buru-buru mau kemana?" Tanya Gendhis memperhatikan wajah Pierre yang seketika berubah, senyuman itu perlahan turun seiring dengan pertanyaan Gendhis yang terdengar.

"Ah...ya! Saya hampir lupa, saya harus mengurus pekerjaan," Ucap Pierre cepat.

"Di hari Minggu begini?" Gendhis mengangkat alisnya.

"Pekerjaan bisa datang kapan saja, Gendhis. Kalau kamu bekerja, pasti paham!" Pierre mencolek hidung Gendhis usil sebelum pamit untuk benar-benar pergi.

Gendhis memegang hidungnya sambil menatap punggung itu yang menjauh menuju mobil dengan wajah kesal.

"Dikira di masa depan gue pengangguran, gue juga kerja kali!" Batinnya menggerutu.

"Lagian kenapa harus pegang hidung sih," Tambahnya dengan wajah kesal, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan pipi kemerahannya yang tampak malu dan salah tingkah.

Sedangkan Pierre di halaman depan tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah teras rumah sebelum mesin mobil itu menderu dan berjalan pergi.

~~~

Setelah makan pagi, Gendhis bersama Yanti mengangkat piring dan alat makan kotor lainnya ke tempat cucian.

"Biar mbak saja yang mengerjakan sisanya, Yanti temani Ade saja ya," Ucap Gendhis setelah semua piring kotor itu menumpuk di wastafel.

HOPE - PIERRE TENDEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang