381 48 0
                                    

"Tidak ada kata teman kalau menyangkut suami. Suamiku ya suamiku, siapa juga yang mau berbagi? Walaupun hanya di dalam pikiran kalian, aku tidak suka." Jimin mengatakan dengan wajah masam, memangku lengan-lengannya ke dada sebelum lagi-lagi mengalihkan kepalanya ke jendela mobil.

Baik Lisa, Jisoo atau Jennie kini justru menertawakan sikap cemburunya. Tak satupun dari mereka menyangka kalau perempuan iris hazel itu sangat posesif terhadap suaminya.

"Jen, misalnya saja ada sebuah permainan berjudul bertukar suami. Di antara kami bertiga, pria siapa yang mau kau tukar dengan suamimu?" Lisa tidak akan segitu cepat untuk diam dan bertingkah baik ketika dia kerap kali menggiring masalah ke tengah-tengah obrolan mereka.

"Tentu saja milik Jiji." Dengan semangat tinggi Jennie mengucapkannya. Namun, hanya sesaat sebab nyalinya kontan menghilang begitu mendapat delik tajam dari si empu yang dituju. "Sorry Ji. Aku keceplosan."

"Jangan coba-coba, Jen! Kita tidak pernah tahu bagaimana rupa Jimin kalau dia sudah mengamuk. Mungkin kau bisa memilih Bambam kalau mau. Aku tidak akan marah bila kau hanya mengajaknya berkencan, tanpa ada sentuhan."

"Aku yang tidak sudi, untuk apa menukar Kai dengan pria yang hampir sama jenisnya dengan dia," sahut Jennie sambil mencebikkan bibir.

"Sehun bagaimana? Apa kau tidak penasaran dengan calon suamiku itu? Ya ... walaupun dia pria yang diam, tapi cukup romantis. Kadang-kadang sih, lumayanlah 'kan?! Setidaknya bisa sedikit mengurangi kejengkelanku padanya."

"Di ranjang? Apa dia dominan?" Jennie menyela, sedikit mendorong mukanya ke dekat Jisoo, mengamati dengan serius sembari menunggu tanggapan dari si perempuan berambut hitam bergelombang.

"Entah, aku tidak begitu memperhatikan. Yang penting bagiku bermain halus, tanpa kekerasan." Jisoo menjawab santai, seadanya.

"Kalian pernah dengar tidak, kekerasan dalam seks itu ternyata dapat meningkatkan rasa nikmat." Jennie menuturkan, disambut rasa ingin tahu oleh Lisa dan Jisoo. Sementara Jimin memilih bungkam, seakan lebih tertarik memandang sisi jalan dari jendela.

"Ya, aku mendengarnya sedikit. Kupikir tidak sesederhana seperti yang kau ucapkan, Jen. Hal itu sudah mengarah pada masalah gangguan seksual secara penerapan. Sangat aneh saat kau merasa senang dan puas melihat pasanganmu teraniaya. Terlepas dari kondisi memprihatinkan si pasangan, gairah si penderita akan meningkat jika pasangannya makin tersiksa. Bisa dibilang si penderita adalah orang yang sadis. Tapi biasanya mereka juga berakhir bersama orang-orang dengan kondisi serupa." Lisa menjelaskan sedikit dari yang dia ketahui.

"Omong-omong, Jen. Apa kau termasuk dari golongan mereka? Masalahnya kau tahu banyak." Jisoo menyambung, mengernyit heran saat membayangkan salah satu temannya ini adalah merupakan penyuka kekerasan saat bercinta.

"Aku tidak senekat itu. Aku masih berpegangan pada teori seks umum saja, kecuali ketika Kai tiba-tiba mencoba ilmu terbarunya. Dan jangan salah paham, sama sekali tidak ada hubungannya dengan BDSM, seks beriring kekerasan seperti perkataanku tadi."

"Oh, aku kira--" kata Jisoo.

"Hentikan pembicaraan kalian, kita hampir sampai."

"Menyebalkan, kau duluan yang membuka topik ini, Jennie," tukas Lisa, menggeleng-geleng maklum seolah terbiasa dengan kelakuan temannya.

"Ji, ada apa denganmu?" Alih-alih menanggapi Lisa, Jennie berpaling ke Jimin yang saat ini seperti kehilangan semangatnya. "Kau marah karena perbincangan kita?"

Menoleh kepada Jennie, wajah Jimin tampak tenang. "Aku tahu kalian hanya bermain-main, dan aku juga tidak marah."

"Jadi, kenapa kau kebanyakan diam?" kali ini Jisoo yang bertanya.

"Entah, perasaanku tidak enak."

"Kau sakit? Apa mau kami antar pulang?" Tidak masalah acara jalan-jalan kali ini kau tidak ikut, masih ada lain waktu." Lisa menambahkan.

"Tidak usah mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja."

"Akhir minggu, aku dan Jennie berencana liburan ke vila Jisoo. Barangkali kau mau ikut, kita perginya tetap bareng-bareng."

"Kita saja?"

"Iya, memangnya ada siapa lagi?"

"Siapa tahu kalian ingin membawa suami untuk ikut, aku jadi bisa mengajak Mas Jungkook."

"Itu tidak mungkin, Ji. Kita ke sana untuk hiburan. Memangnya kau mau liburanmu terganggu karena kehadiran suamimu? Yang ada bukannya memanjakan diri, malah melayani suami," Jimin mendengkus rendah, menundukkan mukanya demi menutupi sedikit rasa kecewa. Pemikirannya sering kontras terhadap tiga temannya ini, kendati dia hanya memiliki mereka sebagai tempat bersenang-senang.

Sejemang penuturan Jennie datang demi membenarkan pernyataan Lisa. Dia hela napasnya pelan-pelan dan berkata, "Ji, aku jamin kau tidak akan menyesal jika mau ikut."

Continue ...

Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang