"tokyoO!"
"ya, chef?"
"ada yang nyari kamu nih."
"sebentar, chef. aku selesaiin ini dulu, tanggung udah mau jadi saucenya. lagi simmer."
"oke. abis itu suruh somebody replace your station. iki wongnya arep ngomong urgent. i'll wait outside yo!" (ini orangnya mau ngomong hal penting)
"okeEEE!" tokyo segera menyelesaikan pekerjaannya dan setelah mencuci tangan, ia keluar dapur untuk menghampiri chef pierre yang menunggunya.
begitu keluar dari areal dapur, penglihatan tokyo otomatis langsung menemukan pria dengan toque^[1] ungu tua, berkacak pinggang kala mengobrol dengan seorang wanita.
lalu mata tokyo melebar saat mengenal sosok perempuan yang sedang berbincang dengan atasannya itu.
"cece jorji!!"
"halo, tokyo!" tokyo menyambut sun pipi^[2] yang dilakukan kakak iparnya itu.
"sorry ce, aku bau dapur plus keringetan," gumamnya saat mereka berpelukan.
"halah, santai wae. aku yo wes biasa."
"ada apa ce jorji kesini? terusss, cece kenal chef pierre!?"
"lho? gia lowah sugengayu itu anak magang didikan aku, si paling jago ini. kita juga satu alumni di academy," chef pierrelah yang menjawab pertanyaan tokyo. cara chef pierre mengucapkan nama tengah temannya agak lucu. lowah.
"ohh gitu toh-"
"okay, okay, i'll let you guys talk. jangan sui-sui yo, aku butuh tokyo in the kitchen. take care, jo, good to see you after -- wow... wes sui banget yo? iguanaku wes gedhe lho, nanti aku kirim fotonya, okay? bye, mon ami!" (jangan lama-lama ya, aku butuh tokyo di dapur. baik-baik ya, lois. seneng banget liat kamu setelah---wah, udah lama juga ya kita gak ketemuan? iguanaku udah besar loh)
"yo. merrrci, pierre!" lois melambaikan tangan pada teman kuliahnya yang balik masuk ke dapur. ia tertawa, "si pierre udah lama tinggal di indonesia, masih aja ngomongnya gado-gado gitu."
tokyo ikut tertawa. "chef pierre emang julukannya bule medok, ce. kadang kalau lagi marah, prancis jowo keluar campur-campur."
"hahah, dari dulu emang lawak tuh orang."
tokyo mengangguk mengiyakan. "oh ya, kenapa cece mau ketemu aku?"
"biasa, nemenin bapak bojo rapat. dia rapat, aku jalan-jalan," lois terkekeh kecil, "terus sekalian deh... ngasih ini," lois menyerahkan kotak yang sedari tadi ia tenteng, "aku mau minta tolong, survey rasa. barusan bikin resep baru. sejenis angel food gitu. pokoknya lidah kamu pasti pinter nilainya. aku lagi nyari saran sana sini. kalau sudah coba, kasih review ya, kasih tau kurangnya juga. jangan sungkan buat ngritik, oke?"
"eh? okeee deh. thankyou, ceee. terus launch tartlet yang kemarin gimana? lancar?"
"thank God. lancar banget. thankyou loh buat idemu. seriously, you are my best consultant."
"HAHAH. bisa aja. good to hear that, ce. jangan sungkan juga buat call aku."
"sip, sip. eh sorry yo, aku datang pas jam kerja. kebetulan juga aku ya mau nganter kue ke rumah deket batikwangsa, jadinya sekalian aja wesss."
"gpp, chef pierre juga bolehin aku ketemu kok."
"aku juga mau tanya," sekilas pandangan lois mengarah pada leher tokyo, kemudian perempuan itu tersenyum samar, "...tentang resep lagi. gpp? bukan mau minta ilmu gratis lhooo, tapi aku bener-bener butuh saran."
"santai aja, ce jorji. mau tanya apa? kali aja aku bisa bantu."
//
"ini kamu yang buat, kyo?" maierken mencomot satu potong kue dari kotak di atas meja makan.
"enggak. ce jorji yang buat."
"tadi kalian ketemuan?"
"iya, ce jorji yang ke batikwangsa."
"ohh. hmmhh. ini enak banget kuenya."
tokyo bergeming, tidak memberi tanggapan lebih lanjut. dari ruang tamu, dalam diam, ia mengamati maierken yang berada di meja makan sedang mengunyah kue dengan nikmatnya.
baru terhitung sehari setelah insiden yang bahkan tidak mau tokyo ingat-ingat, namun keadaan sudah balik seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. seolah-olah, memang benar tokyo dan maierken pasangan yang selalu rukun bahagia.
seperti biasa, paginya, maierken langsung meminta maaf dan puff! seakan terhapus semua kesalahannya.
semudah itu.
siklusnya gampang ditebak.
berantem-berbaikan-masa tenang
dan akan terulang kembali.
tokyo tertawa dalam hati. kamu yang menyedihkan, tokyo. entah, apa karena ia terlalu mencintai seorang maierken atau dirinya mengasihani seorang maierken dengan masa lalu lelaki itu sehingga ia selalu merasa tidak tega.
landasan suatu hubungan seharusnya kasih, kan? bukan rasa kasihan? tapi kini, tokyo merasa sedang menyangkal realita -atau bersikap bodoh? atau keduanya?
menamakan cinta atas rasa kasihan?
tokyo tidak tahu.
|| fiord ||
[1] toque: topi koki
[2] sun pipi: cium pipi pakai pipi