305 37 2
                                    

"Jadi bagaimana proyek kita yang di Kalimantan?" Kim Taehyung meneruskan pembicaraan mereka ke arah yang lebih serius.

"Segera berjalan. Bulan depan dan semoga tidak ada halangan."

"Aku salut dengan kerja kerasmu. Di usia muda mampu menorehkan karier cemerlang. Aku sangat yakin kau pasti piawai dan sudah siap menjalankan sebuah perusahaan milikmu sendiri," puji si pria Kim lagi sebelum menyesap pelan kopinya.

"Kau berlebihan, Taehyung. Tidak mudah untuk memelopori perusahaan, kau juga pasti tahu hal itu. Bukankah kau bilang kita berada dalam situasi yang sama?"

"Seorang buruh maksudmu?"

"Ya, tentu saja." Keduanya kembali tertawa begitu Jungkook mengangguk, sependapat dengan rekan bisnisnya tersebut.

"Humor yang bagus," tutur Taehyung saat hendak mereguk kopi yang sepertinya dia sukai rasanya, hanya untuk kali ini. "Ehm ... begini, aku ingin mengundangmu untuk makan malam. Aku akan sangat merasa terhormat jika kau mau datang."

"Kapan acaranya?"

"Malam ini."

"Nanti malam?"

"Ya. Apa kau tidak bisa?"

"Aku tidak punya acara lain sebenarnya." Jungkook tampak berpikir sekejap dan dalam hitungan detik ia langsung teringat sang istri. Barangkali mengajak Jimin untuk ikut bersamanya adalah rencana bagus. Sudah lama dia dan sang istri tidak keluar bersama. Baiknya sekarang adalah memanfaatkan momen tepat ini untuk membayar waktu-waktu yang sempat terlewatkan. "Aku terima undanganmu."

"Jam delapan malam. Istriku berencana menyiapka beberapa hidangan western. Akan kuminta dia memasak makanan spesial demi tamu istimewa."

"Aku jadi tersanjung, tidak enak jika kau memperlakukanku secara berlebihan."

"Harusnya aku mengajakmu makan malam di restoran bintang lima." Itu pengakuan Kim Taehyung. "Tapi, mau bagaimana lagi, istriku yang mengatur semua ini. Dia ingin sekali bertemu dengan keluarga Jeon, maksudku kau dan istrimu. Selama ini dia selalu berdiam diri di rumah. Aku membatasi aktivitasnya di luar karena dia sedang hamil dan sebagai ganti aku tidak bisa menolak apa pun yang dia minta."

"Istrimu sedang hamil?"

"Ya, sudah empat bulan."

"Kebetulan sekali."

"Jangan bilang kalau istrimu juga..."

"Sayangnya, iya." Senyum Jungkook mengembang. Sama seperti yang kau katakan, aku juga selalu menuruti kemauannya." Sungguh, hanya dengan memikirkan Jimin dapat membuat suasana hatinya begitu bahagia. "Berarti kau tidak pernah melarang istrimu untuk pergi ke mana saja? Belanja misalnya, atau duduk menghabiskan waktu di kafe, ya pokoknya ke tempat-tempat hiburan bagi para wanita."

"Aku tidak perlu melakukan hal itu. Istriku tidak akan ke mana-mana tanpa kehadiranku. Dia baru merasa aman bila ada aku bersamanya--maaf, karena terlalu asyik bicara, aku hampir lupa tujuanku datang ke sini."

"Jangan sungkan! Anggaplah kita ini teman lama dan seorang teman biasanya selalu berbagi cerita." Tak lama raut Jungkook sedikit berubah, ia merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar akibat terlalu memanjakan Jimin, mungkin. Istrinya itu sering sekali tak mengindahkan ucapan juga peringatan darinya. Kini dia hanya bisa menghela napas berat, agak menyesali sikap pembangkang yang kerap ditunjukkan oleh Jimin.

"Sampai jumpa nanti malam, istriku pasti sangat gembira jika bisa mengenal istrimu."

"Tentu." Mengangguk singkat, tak lupa senyum tampannya terukir sebagai pelepas kepergian Kim Taehyung dari ruangan tersebut.

-----

"Bukannya satu jam lalu? Dan suamimu sudah menelepon lagi. Kau seperti seorang ratu, Ji. Dirimu menjadi perhatian utama baginya." Begitu mereka mulai menelusuri luasnya mal, tempat mereka berkunjung, Jennie menuturkan kalimat itu seraya mengedarkan pandang ke seluruh penjuru area.

"Biarkan saja. Jungkook memang selalu panik saat aku berada di luar rumah."

"Dia sangat mencintaimu, terlalu mencolok."

"Atau mungkin dia tidak tahan berlama-lama tanpa kehadiran si Jimin."

"Kau iri, Lis? Yang kutahu Bambam bahkan sangat jarang menelepon dirimu," sela Jennie di kala Lisa dan Jisoo secara bergantian menyahut ucapan Jimin sebelumnya.

"Aku tidak iri. Terserah, aku juga pasti jemu jika Bambam tiba-tiba berubah posesif seperti Jungkook, aku tidak suka dikekang."

"Apa lagi aku?! Jangan coba-coba! Kalau perlu pakai surat perjanjian agar dia tidak mengganggu kesenanganku." Jennie menambahi, mengangkat kedua bahunya demi penegasan mutlak.

"Kalau kau bagaimana, Jis?" tanya kedua perempuan itu, Lisa dan Jennie.

"Aku?" menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk, Jisoo pun menjawab, "Kurasa aku sudah pernah bilang, Sehun itu sangat pendiam. Aku malah ragu dia akan melakukan hal yang sama seperti perkiraan kalian."

"Lagi-lagi Jimin adalah pemenangnya."

"Kau bisa menyombongkan diri, Ji. Karena kenyataannya suamimu satu-satunya yang penuh cinta di sini." Ketiga perempuan itu serempak tertawa ringan, mencemooh Jimin.

Sementara, Jimin justru mendengkus rendah kemudian berkata, "Percayalah, rasanya tidak sebaik yang kalian duga. Terkadang membuatku jengkel."

Continue ...

Bantu vote, follow dan komen l, ya. Semisal ini tidak seperti yang kalian sukai, Velin tidak akan melanjutkannya. Ini sudah selesai sampai akhir, hanya perlu update satu/satu bab.

Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang