Romantika di malam yang indah

417 47 9
                                        

Proyek di Kalimantan akan segera dimulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang.

"Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."

Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.

Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu.

"Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturnya jangka mengayun langkah ke pintu keluar.

-----

Malam yang indah tengah beratapkan bintang-bintang di langit. Bagi pasangan kekasih, keadaan seperti ini merupakan malam istimewa, masa yang tepat untuk memadu cinta. Namun, agaknya tidak bagi Abimana. Rautnya tampak tiada bergairah. Banyak pekerjaan menanti tentu pula tak dapat diabaikan, ditambah sikap istrinya yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan.

Setibanya di rumah Abimana mendapati situasi sekeliling sepi. Langkahnya yang terasa berat dituntun menuju lantai dua. Dia melepas jas sembari ingin memastikan pintu-pintu terkunci rapat. Namun, belum sampai ke spot yang dituju dia praktis mendesah pelan saat tak sengaja menyaksikan Ajeng terlelap di sofa.

Cukup lama Abimana memperhatikan istrinya. Laki-laki itu berjongkok, menyingkirkan ponsel yang masih digenggam Ajeng. Senyum tipis sepintas singgah di wajahnya yang lelah, sebelum dengan perlahan-perlahan dia mengangkat tubuh istrinya menuju kamar mereka.

Masa yang mereka lewati kala masih perkenalan dulu sungguhlah singkat. Ketertarikannya pada Ajeng sudah cukup menjadi bekal keyakinan untuk menikahi istrinya itu. Senyum Abimana mengembang bertepatan benaknya mengulang lagi pertemuan setahun silam. Tak banyak kenangan, tetapi tetap menjadi memori terindah di hatinya.

Tutur kata Ajeng begitu manis, ramah juga sederhana. Segelintir pesona dari istrinya itu dan paling dia sukai. Bahkan dirinya tak punya kesempatan untuk berpikir ulang. Ketika hati bicara ... segalanya dengan sukarela memilih. Dalam hitungan bulan Abimana langsung memboyong lamaran pernikahan pada keluarga besar Ajeng.

Usai mengulang adegan demi adegan tersebut, tak ayal menghadirkan senyum dan tawa di wajah Abimana. Begitu sampai di depan kamar mereka, dia membuka pintu sembari menahan bobot istrinya. Abimana merebahkan Ajeng di atas kasur. Dia lantas duduk sejenak di samping istrinya itu; menarik selimut katun di dekatnya untuk menutupi tubuh Ajeng.

Abimana berniat ke kamar mandi bila saja istrinya tidak tiba-tiba menahan pergerakannya. "Mas, jangan pergi!" Ajeng berkata manja, menampakkan gurat bersedih di wajahnya.

"Mas mau mandi," sahut Abimana. Dia malah  kembali duduk di samping istrinya.

"Mas masih marah sama Adek?" Suara Ajeng terdengar serak juga pada nada yang nyaris seperti bisikan.

"Enggak. Kapan Mas marah?"

"Seharian ini Mas enggak kasih kabar. Adek pikir itu karena Mas marah."

"Tadi pagi ada rapat di kantor. HP Mas ubah ke mode silent. Rapatnya kelar, malah lupa ganti pengaturan lagi." Perkataan Abimana adalah kebenaran yang terjadi.

"Biasanya Mas enggak pernah lupa. Setiap hari menelepon Adek. Kalau pun sibuk, Mas pasti sempatkan buat kirim pesan." Ajeng luapkan semua kesahnya. Air muka cemberut mewakili kecewa dan kesalnya dia sebab menunggu tadi.

"Maafin Mas, ya. Di kantor lagi sibuk banget. Cabang toko di Kalimantan bakal segera dibuka. Banyak hal yang perlu Mas urus." 

Ajeng mengambil duduk, merapatkan diri pada suaminya. "Mas beneran enggak marah lagi sama Adek?" Menatap lekat-lekat wajah suaminya, pandangan Ajeng mengunci perhatian Abimana. Tapi, lelaki itu menanggapi sekadar lewat anggukan.

"Adek rindu, Mas," rengek Ajeng sebelum dia naik ke pangkuan Abimana. Hitungan menit dia mengikis jarak di antara mereka, mendekap wajah Abimana untuk mencium mesra bibirnya.

Tanpa aba-aba Ajeng merenggangkan dasi dan melepas satu persatu kancing kemeja suaminya, dengan halus memberi sentuhan menggoda di dada bidang yang tampak kokoh.

Sementara, si empu yang menuai afeksi dadakan  sigap meraih tangan istrinya; menggenggamnya erat. "Kenapa jadi romantis sekali?" tanya Abimana.

"Ehm ... enggak tahu. Adek pengen marah karena Mas cuekin Adek. Mas lebih memilih proyek daripada Adek." Ajeng merangkul leher Abimana, menempelkan dahi mereka. Sejauh ingatannya, dia tidak pernah tidak terpesona oleh jelaga hitam nan sendu tersebut. Itulah Satu-satunya pusat bagi seorang Ajeng Dwi Ayu.

Jari-jemari Ajeng kembali bergerak lembut, mengusap garis rahang Abimana bersamaan suaminya pun memberi kecupan kecil di bibirnya. Namun, nyaris tak kena. Sehingga, adegan lucu sekian membuat keduanya serentak terkekeh geli. "Istri Mas nakal," bisik Abimana.

"Mas juga ikutan ketawa, ih," balas Ajeng dengan nada yang manja. Tangannya diam-diam turun untuk melepas ikat pinggang. Ritsleting celana suaminya ditarik ke bawah. Ajeng lagi-lagi memantik suasana intim melalui ciuman intens. Di sisi lain Abimana memeluk erat pinggangnya. Berangsur-angsur saling membalas pagutan, jemari Abimana merangsang ke punggung Ajeng; melepas pengait bra lalu menyingkirkannya. "Mas, pelan-pelan, ya. Di situ kadang-kadang berdenyut. Produksi ASI."

"Sakit ya, Dek?" Detik berikut Abimana mencelus, prihatin terhadap kondisi istrinya.

"Sakit setiap berdenyut. Datangnya tuh enggak ketebak, Mas. Tahu-tahu aja udah nyeri."

"Kasihannya istri, Mas." Abimana mendaratkan satu kecupan sayang di kening Ajeng.

Suasana hangat dan mesra melingkupi keduanya. Gairah yang kian melambung menyebabkan wajah mereka turut memerah sekarang. Ajeng bungkam saat suaminya melakukan penyatuan itu. Dia hanya mampu menyembunyikan muka ke dada Abimana.

"Kalau enggak nyaman bilang ya, sayang."

"Mas..." Desahan Ajeng mengudara merdu. Tubuhnya turut didorong ke depan, mengikuti tarikan lembut juga betapa awas Abimana.

"Mas bisa merasakan detak jantung Adek. Cepat sekali, sayang."

"Adek juga enggak ngerti. Sampai sekarang Adek masih deg-degan kalau sedekat ini sama Mas."

"Adek ... bisa-bisanya merayu di saat begini."

"Adek serius."

"Itu bukan karena bayinya 'kan, Dek?"

"Bukan, Mas sayang. Adek udah konsultasi sama dokter. Aman kok kita melakukan ini, bulannya udah cukup."

Ajeng melabuhkan kecupan-kecupan intens di leher jenjang suaminya. Berahi yang kepalang memuncak mengubah hawa menjadi gerah. Keduanya saling memandang penuh rasa kagum, membagi senyum mendambakan di sela-sela senggama. Abimana amat menjaga pergerakan serta ketukan dalam menggeser pinggul istrinya. Tetap dia memperhitungkan agar istrinya aman leluasa. Bibir silih bertaut, mengejar kasih dan rindu yang tertahan sepersekian jam.

Pada banyak lipatan menit berputar, Abimana memeluk Ajeng erat-erat. Gairah sedia dilepaskan, menumpahkan esensinya. Jeritan kecil malu-malu pun mengiringi romantika keduanya di malam ini.

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang