4 | Bastard Is Bastard

192 22 2
                                    

Tarakan, 1945

AKU JATUH di atas kubangan lumpur dengan keadaan TELANJANG!

Akselerator elektron sialan! Aku jadi terjebak di zaman penjajahan tanpa sehelai busana! Aku kira, alat itu belum sempurna sehingga mengurai bahan sintetis yang bersifat inorganik. Gawat! Jika ada seseorang yang menangkapku, pasti aku akan dipermalukan—

Semak di sampingku tiba-tiba bergemeresak.

"Siapa di sana!?"

"To-long ...." Suara seorang wanita berteriak lemas.

Tanpa ragu, aku menolong wanita tersebut. Meskipun aku tidak memakai sehelai busana, setidaknya lumpur yang menutupi tubuhku bisa sedikit mengurangi rasa malu. Setidaknya, kami di sini sama-sama wanita, jadi tidak perlu terlalu takut.

Aku begitu terkejut ketika menyaksikan kondisi wanita itu. Benar-benar parah! Dengan pakaian kulit dan rok pendek ombre hitam dan coklat khas Suku Dayak, ia jatuh tersungkur bersama kendi berisi air yang dibawa.

Di sampingnya, bau tajam kotoran manusia menusuk. Dari wanita itu, cairan kekuningan berceceran.

Dia kemungkinan mencret terkena diare. "Ibu kenapa bisa ada di sini?"

"Tolong aku, perutku sakit dan badanku lemas sampai tak kuat mengambil air. Rumahku ada di sana, tolong antarkan aku ke sana."

"Baik." Aku pun membantu wanita itu berdiri seraya memegangi kendinya. Ia masih bisa berjalan meski gontai. Aku tak begitu jijik dengan kotoran yang menempel. Aku sudah biasa menghadapi kotoran sejak praktik di kuliah. Lagipula, wanita ini tidak mempermasalahkan tubuh tanpa busanaku.

Cukup dua menit aku menuntun wanita itu sampai di rumah panggung yang reot.

Aku membersihkan kotoran dari roknya sebelum membaringkannya di kasur. Karena dia terkena diare, aku segera ke dapur untuk membuatkan oralit dari campuran air dan garam. Obat-obatan pasti sulit ditemui di masa ini, jadi aku buatkan seadanya.

Setelah jadi, aku minumkan ke wanita tadi hingga habis segelas. Sampai, tak lama kemudian, wanita itu berhenti mengeluhkan rasa nyeri di perutnya yang menusuk-nusuk.

Dia pun tertidur dan aku pun bisa bernapas lega. Sebagai ucapan terima kasih, aku mengambil sendiri selembar selimut dari lemarinya. Setidaknya, aku tidak perlu bertelanjang bulat sekarang. Aku bisa mengenakannya seperti kendit wanita Jawa.

Kalau dipikir-pikir, hidup di zaman sekarang begitu enak, tak ada kekisruhan. Namun—!

"SIAPA KAU!?"

Seorang pria bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek hitam, berteriak kepadaku. Di belakangnya, sekumpulan pria berkulit kuning yang mengenakan seragam coklat dan memanggul senapan berdiri berbaris.

Aku berusaha menjelaskan, tetapi wanita yang kutolong tadi tiba-tiba terbangun dari tidur. Ia lantas bangkit dari dipan dan langsung berhambur memeluk pria bertelanjang dada itu.

"Suamiku! Aku sudah sembuh!"

Pria itu menggeleng. "Tidak mungkin, bagaimana bisa!"

Wanita itu menunjukku. "Dialah yang menyembuhkanku dengan ramuan ajaibnya."

Mendengar perkataan itu, aku hampir melongo sebab yang kuberikan hanyalah larutan oralit, bukannya ramuan ajaib. Namun, tentara Jepang di belakang pria bertelanjang dada itu malah lebih terkejut daripada aku.

"Kami akan membawa wanita itu, Kepala Suku!" Tentara itu punya logat Jepang yang pekat. "Bantuan kami ternyata tidak diperlukan!"

"Tidak! Jangan bawa aku!" Aku melawan para tentara itu, tetapi kalah kuat. Aku berusaha meminta tolong kepada pasangan yang telah kutolong, tapi tidak digubris. Bedebah kalian!

Sama saja dengan pemangku jabatan di masa lalu dan masa depan, kebanyakan kalian mau untung sendiri!

"Jangan banyak melawan!" Tentara itu memitingku.

"Mau dibawa ke mana aku!?"

"Jenderal Minatozaki!"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shall I Call You Dad or Daddy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang