21. Tiba

12 4 0
                                    

Raga menerjang. Satya terdorong, tersudut oleh serangan Raga. Pukulan dan tendangan datang silih berganti. Beberapa sukses mengenai Satya sehingga menambah lukanya.

Bugh...

Tendangan lutut Raga tepat mengenai perut Satya. Satya tertunduk menahan nyeri. Raga menghentikan serangannya, ia lebih memilih membuang peluang untuk menghabisi Satya. Raga yang lebih unggul mengulur waktu dan memilih bersenang-senang dengan pertarungannya.

"Ada apa? Apa niat membunuhmu telah hilang? Apa kata-kata itu hanya sebatas bualan belaka?"

Satya tak menanggapi. Tekad kuat masih tersisa, tapi staminanya tak bisa membohongi. Tubuhnya terlalu lelah untuk hari ini. Tiga orang yang ia bunuh dalam perjalanannya kemari cukup melelahkan dan itu di luar rencananya.

Satya bangkit dan kemudian....

Satu tendangan terbang dari Raga menghantam tepat di wajahnya. Satya terpental hingga mendarat di dekat pintu keluar menuju samping halaman markas utama tempatnya masuk secara mengendap. Satya terkapar. Darah mulai menetes dari sudut bibir, melewati pipi hingga berakhir membasahi lantai. Bercampur dengan darah lainnya yang lebih dulu tumpah.

Semua terlihat memudar. Pandangannya seolah ingin segera pergi dari Satya. Satya mulai melemah. Darah yang menetes tak hanya dari satu tempat saja. Luka di bahu terus menerus membasah hingga meninggalkan bekas di tempatnya terkapar.

****

"Hei, lihat itu?"

Bani menunjuk sebuah mobil terparkir terbalik. Mereka bergegas untuk memeriksa mobil itu.

"Sepertinya belum lama terjadi." Ucap Iqbal.

"Ya, ada jejak kaki dan sepertinya ada tetesan darah." Brama menambahkan.

"Di dalam mobil ini kosong, mungkin tak ada korban jiwa. Kita ikuti jejak ini!"

Brama, Bani dan Iqbal mulai menelusuri jejak kaki yang tergambar di rerumputan.

"Hei, lihat ini? Sepertinya orang ini salah satu yang berada di mobil tadi."

Bani menemukan jasad pertama.

"Ada satu lagi di sini." Iqbal menambahkan.

Brama tak menanggapi. Ia terpaku dengan apa yang ia sedang ia lihat kini. Wajah yang tak asing baginya.

Melihat Brama yang tak bereaksi terhadap laporan mereka, Bani dan Iqbal menghampiri. Kini mereka mengerti mengapa Brama lebih fokus pada jasad terakhir yang ditemukannya.

"Dia..." Bani tak melanjutkan kalimatnya.

"Kita harus segera pergi. Ikuti jejak kaki yang mungkin masih tersisa. Mungkin saja itu bisa membawa kita pada markas mereka."

Brama, Bani dan Iqbal bergegas. Dengan beberapa kejadian yang mungkin sudah ia sedikit pahami, hanya mungkin ia perlu menyusun kepingan-kepingan petunjuk agar menjadi sesuatu yang utuh.

"Merunduk!" Ucap Brama pelan.

Bani dan Iqbal mengikuti perintahnya. Perlahan namun pasti, terdengar derap langkah tak jauh dari tempat mereka bersembunyi kini. Suasana hening tercipta. Sebisa mungkin mereka menahan diri untuk melakukan pergerakan yang mungkin bisa membahayakan. Bahkan jika memungkinkan, mereka akan berusaha menghentikan napas serta detak jantung mereka sendiri.

"Siapa mereka?" Tanya Bani. Setelah memastikan langkah itu mulai menjauh dan tak terdengar lagi.

"Entahlah, namun yang jelas kita sedang berada di dekat markas gengster dengan catatan kriminal yang cukup banyak, jadi kita harus tetap bersembunyi dan waspada."

TENTARA MERAH DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang