"Tolong, jangan sakiti ibuku!"
Teriakan dari mulut kecil itu tak mampu didengar, setidaknya oleh hati mereka. Beberapa orang berpakaian hitam terus menyiksa tanpa belas kasih sebagai manusia. Wanita itu terkapar, ingin tetap melawan namun tak berdaya.
"Diam!"
Plak...satu tamparan meninggalkan lebam di pipi kanan anak laki-laki kecil yang dengan gagah berani membela sang ibu.
"Jangan sakiti anakku!"
Bugh...kalimat itu berbalas sebuah tendangan tepat di bagian perut hingga ia mengerang menahan ngilu.
"Jika kau tak mau mengaku, aku akan membunuhmu dan anakmu!"
Ancaman itu berulang kali dilontarkan namun tak sedikitpun membuahkan hasil.
"Aku tak melakukan apa-apa, bahkan aku tak mengenal kalian!"
Wanita itu tetap dengan sebuah pendirian.
Plak...plak...plak...
"Brengs*k!"
Laki-laki yang sejak tadi berusaha menginterogasi telah lama hilang kesabaran. Ia tak peduli jika yang dihadapinya seorang wanita.
Tetesan darah mulai mengalir di sudut bibir. Rasa lelah, nyeri dan luka di sekujur tubuh tak mampu meruntuhkan mental pemberaninya. Laki-laki itu menjambaknya.
"Dengar, cara satu-satunya untuk bertahan hidup dan menyelamatkan anakmu hanya dengan mengaku. Apa susahnya? Apa kau akan tega melihat anakmu kami siksa lebih dari saat ini?"
Laki-laki berpakaian hitam itu tak mendapat jawaban. Ia justru mendapat tatapan mata dendam dari wanita itu. Merasa terhina dengan tatapannya, laki-laki itu kembali memberikan pukulan dan tendangan hingga dering gawai dalam saku membuatnya berhenti.
Dilihatnya gawai yang kini berada dalam genggaman. Dari layarnya tertulis nama orang yang familiar.
"Ya!"
Ia mengatur napas sebelum menjawab panggilan itu.
"Apa?"
Suara di ujung gawai membuatnya tertegun. Seketika ia menoleh ke arah dua orang yang saat ini berstatus sebagai tawanannya. Mereka berdua diculik olehnya ketika berada di rumah. Tengah malam tanpa mengalami hambatan, karena wanita itu hanya tinggal berdua dengan sang putra.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Ia kembali mengalihkan pandangan dan kemudian fokus untuk mendengarkan.
"Baiklah."
Obrolan antara ia dan seseorang di ujung gawainya telah selesai.
"Kalian, kemarilah!" Ia memanggil rekan-rekannya untuk berkumpul.
Tanpa basa-basi, ia menjelaskan situasi mereka saat ini.
"Sepertinya kita salah tangkap."
"Apa?"
"Ya, seharusnya target kita bukan mereka."
"Lalu bagaimana dengan mereka? Apa kita harus mengantarkannya pulang?"
"Bodoh! Jika kita melakukan itu, kita akan mati!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Kita habisi, lalu buang mayatnya!"
Semua terdiam. Mereka tak memiliki pilihan karena pilihan mereka saat ini hanyalah perempuan dan anak itu yang mati atau mereka dan jelas saja mereka akan lebih memilih membunuh dari pada terbunuh.
****
"Apa kita belum mendapat petunjuk tentang dia?" Tanya Brama.
"Belum, walau kita tau pelakunya tapi kita tak punya bukti untuk melakukan penggeledahan atau surat penangkapan, satu saksi dari orang itu saja takkan cukup." Jelas Bani.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTARA MERAH DARAH
Misterio / SuspensoKembali, demi sebuah janji. Beberapa tahun telah berlalu, namun rasa itu masih tetap sama.