Tenggara meninggalkan markas saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia tidak pernah menginap di markas karena takut Seira merasa kesepian di mansion. Berbeda dengan Sakti, Cakra dan Haidar yang menjadikan markas Dangerouz sebagai rumah utama mereka. Kedua laki-laki itu merasa nyaman tinggal di markas.Cakra yang paling sering. Laki-laki itu jarang sekali pulang ke rumahnya. Bagi Cakra, rumah mewah itu adalah neraka. Kemewahan yang terlihat dari luar itu hanyalah cangkang yang tidak berisi. Cakra merasa muak setiap kali pulang ke rumahnya.
Sedangkan Langit adalah anak emas keluarganya. Laki-laki itu tidak pernah sekali pun diizinkan untuk menginap di luar. Langit adalah cucu kandung keluarga Adinarta dan Pramudya. Penerus sah dua keluarga ternama. Anak kesayangan semua orang hingga dia di jaga bagaikan berlian.
Tenggara memasuki halaman mansion menuju garasi. Ia menuruni motor dan berjalan tergesa menuju kamarnya. Di sana sudah ada Seira yang menunggu Tenggara dengan bingkai foto di pangkuannya. Foto Seira yang menggendong Tenggara saat masih bayi.
Inilah yang membuat Tenggara tidak bisa meninggalkan Seira terlalu lama. Tenggara tahu kebiasaan sang bunda. Seira tidak akan bisa tidur sebelum melihat Tenggara.
"Bunda udah lama nunggu?"
Seira menggeleng. Senyuman tipis yang begitu cantik di wajah wanita itu membuat hati Tenggara ngilu. Tenggara kembali mengingat pertengkaran kecil orang tuanya yang menyeret namanya dan Langit.
"Sini, Nak!" Seira menepuk sisi kasur di sebelahnya.
Tenggara melangkah mendekati Seira. Bukan duduk di sebelah Seira, laki-laki itu berjongkok di hadapan Seira dan merebahkan kepalanya di pangkuan sang bunda.
"Maaf ya, Bun."
"Kenapa minta maaf?"
Tenggara tersenyum tipis. "Gapapa."
Satu tangan Seira mengusap rambut Tenggara penuh sayang. "Maaf ya kalo Bunda belum bisa ngasih kebahagiaan ke kamu."
Tenggara diam. Dia merasakan sesak di hatinya mendengar nada suara Seira yang bergetar. Tenggara tidak berani menatap sang bunda. Laki-laki itu takut melihat air mata wanita itu dan membuatnya lemah.
"Aku udah bahagia kok."
"Kamu nggak berantem lagi kan?"
Tenggara terdiam sesaat. "Tadi aku nolongin Langit. Dia di serang orang nggak di kenal."
Seira langsung membingkai wajah Tenggara dan menatap sang putra penuh khawatir. "Kamu gapapa kan? Ada yang luka?"
"Nggak ada kok," jawabnya membuat Seira menghela napas lega.
"Lain kali hati-hati ya?" Tenggara mengangguk. Kedua tangannya meraih tangan Seira dan menggenggamnya. Mengecup punggung tangan sang bunda lembut. Tenggara ikut tersenyum saat melihat Seira tersenyum.
Hati Seira selembut kapas. Seira tidak pernah sedikit pun berbicara dengan nada tinggi pada Tenggara. Seira juga tidak pernah memarahinya atau melontarkan kata-kata yang menyakitkan meski wanita itu pernah beberapa kali melihat luka-luka di wajah Tenggara akibat berkelahi.
"Bunda tidur ya, udah malam."
Seira mengangguk. Tenggara meletakkan bingkai foto dan mengantar Seira ke kamarnya. Tenggara menyelimuti Seira lalu duduk di tepi kasur memandangi wajah Seira yang terpejam. Seira adalah satu-satunya yang Tenggara miliki dan Seira adalah alasan Tenggara untuk tetap bertahan di mansion mewah yang selalu memberinya luka.
"Good night, Bunda."
Tenggara mengecup kening Seira lalu keluar dari kamar. Dia berpapasan dengan Arhan yang baru pulang dari kantor. Seperti biasa, tidak ada interaksi kecil atau sapaan di antara keduanya. Arhan melewatinya begitu saja memasuki kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENGGARA
Ficção AdolescenteTenggara Bumi Semesta. Ketua Dangerouz yang terkenal dingin dan di takuti se-Cakrawala. Sejatinya, Tenggara adalah anak laki-laki yang memiliki banyak luka. Kelahirannya tidak diinginkan. Menjadi anak orang kaya dan tinggal di mansion mewah tidak me...