Part 1 : Kembali Bertemu

22 5 7
                                    

Pagi itu matahari sudah dengan bangga memamerkan sinarnya, padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, jangan heran memang saat ini sedang liburan musim panas, jadi matahari tak akan malu memamerkan sinarnya sepagi ini

Aku menguap, baru bangun dari tidur, liburan membuatku memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton drama korea. Kapan lagi iya, kan? Lagi pula list dramaku sudah cukup menumpuk.

“Rasya! Bangun kamu!”

“Iya, Ma!” Masih dengan suara malas, aku menjawab panggilan Mama. Posisiku masih berada di atas ranjang, mengumpulkan nyawa sebelum memutuskan untuk mandi.

“Mama, masak apa? Aku lapar.” ucapku saat sudah sampai di meja makan. Belum ada piring yang tersaji, padahal biasanya pukul enam sarapan sudah Mama siapkan, mungkin karena hari ini libur jadi Mama juga sedikit santai.

“Enak banget kamu Ras, baru bangun udah minta makan. Sana bantu nyuci!” Mama menunjuk pada tumpukan alat masak yang penuh noda, ada wajan, panci, juga lainnya. Aku yang melihat itu sedikit muram, berniat melayangkan protes sebab perut ini benar-benar sudah lapar, tapi urung saat Mama kembali berkata, “apa?! Tinggal nyuci doang kamu itu, udah Mama masakin nasi goreng kesukaan kamu nih. Anak cewek jam segini kok baru bangun, nanti kalau udah nikah gimana?!”

“Ya kan aku nikah juga masih lama, Ma. Sekali-kali aja kok bangun kesiangannya,” balasku sambil mulai menggosok noda di atas panci.

“Ya tapi kamu harus belajar mulai sekarang! Emang kamu bakal langsung bisa masak gitu aja?! Udahlah, Mama mau mandi dulu, nanti kamu sarapan dulu aja kalau udah selesai.” Mama melepas celemeknya yang sudah kotor, menggulung rambutnya ke atas kemudian naik ke lantai dua‒tempat dimana kamarnya berada.

Beberapa menit berlalu, noda-noda itu akhirnya hilang. Cukup lama karena nodanya lengket, membuatku harus melakukan usaha ekstra untuk membersihkannya.

“Mama masak apa sih kok nodanya gitu banget. Heran, deh,” gumamku sambil berjalan ke meja makan, bersiap untuk menikmati sarapan. Cacing dalam perutku sudah keroncongan sedari tadi karena lapar, maklum saja sekarang jam sudah hampir mencapai setengah delapan.

“Belum sarapan, Ras?” Suara lembut yang tadi sempat terdengar seperti petir itu menyapa pendengaranku. Mama masuk ke ruang makan dengan rok putih dan blouse coklat polkadot miliknya, wajahnya juga nampak dipoles make up.

“Mama mau pergi kemana?” Alih-alih menjawab pertanyaan Mama, aku malah balik bertanya. Mama tidak akan berdandan secantik itu jika hanya ingin ke rumah tetangga. Beliau juga tak akan keluar jauh tanpa izin atau dampingan Papa, lagipula beliau bukan orang yang suka jalan-jalan jauh, mungkin hanya ke butik, itu pun juga hanya di waktu-waktu tertentu.

“Mau ke butik bentar, kamu jaga rumah dulu.”

“Sekarang, Ma? Nggak sarapan dulu? Lagian Mama kok tumben liburan gini ke butik?”

Mama yang mendengar pertanyaan bertubi-tubi dariku menggeleng pelan. “Ini kan awal musim Ras, Mama harus buat campaign buat brand. Nanti Mama pulang agak malam sih kayaknya, Mama udah bikin makanan tinggal hangatin aja.”

Aku hanya mengangguk lesu mendengar jawaban Mama. Sedikit kesal, ini liburan musim panas, tapi Papa malah sibuk mengurus perusahaan miliknya, sedang Mama ikut sibuk mengurus campaign, aku harus terjebak di rumah ini sendirian. Benar-benar menyebalkan!

****
Suara musik menggema mengoyak keheningan yang terjadi, bunyi keripik yang dikunyah pun turut membuat keramaian. Saat ini aku berada di ruang keluarga, bersantai sambil merebahkan diri di sofa panjang yang ada di sana. Beberapa kali aku menguap, sungguh bosan, padahal aku sudah keluar-masuk sosial media, tapi sepertinya itu belum cukup untuk membunuh rasa bosan yang melanda.

“Duh ngapain ya enaknya? Masa nonton drama lagi sih? Laptop gue kan masih di-charger,” ujarku sembari mengubah posisi menjadi duduk.

Aku menghela napas, setelah beberapa menit melamun‒memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan‒hasilnya nihil. Lagi-lagi aku membuka benda pipih digenggamanku, kembali menjelajahi sosial media.

Sedang asik menjelajah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumah, dengan perasaan malas dan umpatan yang terucap dalam hati, aku membuka pintu. Seorang lelaki bertubuh tinggi berdiri sambil melempar senyum.

“Cari siapa ya?” tanyaku, pasalnya aku memang tak pernah melihat dia sebelumnya. Akan tetapi, bukannya menjawab lelaki itu malah menarik tanganku dan membawaku keluar rumah. Sial, siapa lelaki lancang ini?

“Hei! Apa-apaan sih lo?! Lo mau bawa gue kemana?!” ucapku sambil berusaha lepas dari cengkeramannya, tapi demi Tuhan cengkeramannya begitu kuat, bahkan pergelangan tanganku sampai terasa panas.

Dia masih tetap diam, tak menjawab, hanya terus berjalan dan anehnya aku tak tau posisiku sekarang dimana. Kami sekarang berada di sebuah gang sempit. Gang ini begitu kotor, sampah dan genangan air dimana-mana. Sebenarnya aku ada dimana?

“Bukannya baru bentar gue jalan?”
bantinku heran.

“Kita harus bersama selamanya, Rasya.” Dia tiba-tiba berbalik dengan tatapan marah, ditangannya ada sebuah pisau yang entah didapat dari mana dan dengan gerakan cepat pisau itu mengarah ke dadaku.

Aku menjerit sekeras-kerasnya, napasku tersengal, keringat dingin pun ikut menetes deras. Dengan panik aku mengecek seluruh tubuhku, aman tak ada bekas luka sama sekali.

“Jadi itu … cuma mimpi?” tanyaku masih tak percaya, karena memang rasanya begitu nyata. “Masa iya ini gara-gara gue tidur pagi-pagi?” gumamku lagi. Ini memang masih pagi, jam masih menunjukkan pukul sepuluh saat aku melihatnya tadi. Memang belum waktunya tidur, tapi karena bosan tanpa sengaja aku melalang buana ke alam mimpi, sayang hasilnya malah ngeri sendiri.

“Udah ah paling cuma‒” Kata-kataku terpaksa kutelan kembali saat tiba-tiba bunyi bel terdengar. “Nggak mungkin mimpi gue jadi …?”

Menggeleng pelan, aku berusaha menghilangkan pikiran tidak jelas yang tiba-tiba mampir. Mimpi hanya bunga tidur, tidak mungkin menjadi kenyataan, iya kan?

“Mau nyari siapa, ya?”

“Mustahil, cowok ini … sama persis kayak….”

PelikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang