Aku terdiam, tubuhku mematung secara tiba-tiba. "Gak mungkin, cowok ini ...sama persis kayak yang ada dimimpi gue." Bukan berarti aku parno atau apa, tapi memang itu benar adanya. Aku bahkan beberapa kali mengerjabkan mata karena tak percaya. Bagaimana bisa bibirnya yang tipis, hidungnya yang mancung bahkan rahangnya yang tegas tercetak sama persis seperti lelaki dalam mimpiku.
"Ca-cari siapa ya?" ulangku sedikit gagap.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah melempar senyum padaku. "Ini, ada kue dari Ibuku, buat kamu Ras."
"Hah?" tanyaku refleks. Ibunya siapa? Kenal dia aja enggak, apalagi ibunya? Lagi pula dari mana lelaki ini tau namaku? Jangan-jangan dia stalker dan mimpiku ternyata benar? Baiklah, terdengar berlebihan, tapi what the hell Bung, dia bahkan tau namaku sebelum aku menyebutnya! Kalian pasti curiga jika berada di posisiku sekarang.
"Ini dari Bu Rika, masa kamu lupa sama aku sih, Ras?" lanjutnya setelah melihat raut bingung diwajahku.
Aku mengerutkan kening. "Bu Rika? Bu Rika yang rumahnya ujung gang?"
Bukannya menjawab pertanyaan ku, dia malah tertawa, padahal jelas tak ada yang lucu dari perkataanku. Manusia di depanku ini tak mendadak jadi gila kan?
"Iya, Bu Rika itu. Masa kamu lupa sama aku sih Ras? Aku Bagas, taman masa kecil kamu."
"Bagas?" beo ku sambil menelisik wajah lelaki di depanku ini. "Emang lumayan familiar sih, tapi siapa? Perasaan temen gue gak ada yang namanya Bagas." batinku setelah beberapa menit berlalu hanya untuk mengamati wajah lelaki asing ini.
"Aku dulu tetangga kamu, kita sering main waktu kecil. Kamu dulu pernah nangis gara-gara dipatok angsa di danau kan? Terus kamu juga nangis karena gak sengaja bikin sepatu kesayangan kamu kena lumpur waktu ngejar kucing. Masa kamu lupa?
"Oh! Candra Bagaskara?" tanyaku memastikan.
"Iya, udah lama gak ketemu ya, Ras? Kamu gimana kabarnya?" Bagas bertanya dengan semangat yang benar-benar ketara, jika ini di film kartun, mungkin matanya sudah dibuat berbinar.
Aku tertawa canggung. "Baik kok, aku ... masuk dulu ya, makasih kuenya," lanjutku dengan ragu. Tak enak rasanya berbicara di depan pintu, tapi aku juga tak mungkin membawanya masuk begitu saja, bisa-bisa menambah bahan gosip tetangga nanti.
Saat aku hendak menutup pintu, Bagas menahannya, membiarkan tangannya sedikit terjepit.
"Kenapa lagi, Gas?"
"Boleh gak Ras kalau kita jalan? Aku kangen sama kamu."
Aku terdiam, sebenarnya itu bukan hal baru. Teman lama mengajak temannya jalan bersama adalah hal yang lumrah, tapi kenapa aku merasa ragu?
"Aku ... liat jadwal dulu ya, mungkin lain kali."
Lalu blam! Pintu akhirnya aku tutup dan percakapan kami selesai. Baiklah, aku tak bermaksud kasar, mungkin aku sedikit parno dengan mimpi ku barusan, tapi yang pasti instingku terus berdentang untuk menolaknya.
"Gila, baru juga ketemu beberapa menit udah ngajak jalan aja. Ya gak salah sih, tapi kan kita terakhir ketemuan udah 13 tahun lalu cuy, gue aja dah lupa muka dia, masa langsung sat set mau ngajak jalan?" monologku, masih merasa sedikit heran, "ah udahlah, mending ngedrakor lagi."
****
Malam telah datang, teriknya matahari berganti dengan lembutnya sinar bulan, bintang pun ikut bertaburan, menambah ramainya langit malam, tak seperti kondisi ku sekarang, sendirian. Katakanlah aku berlebihan, tapi sungguh, ini hari libur, hari dimana kita menghabiskan waktu dengan keluarga, tapi nyatanya malah ditinggal dengan alasan kerja.
"Kapan sih Mama pulang? Masa anak gadisnya ditinggal sendirian? Nanti kalau diculik gimana? Terus aku di-"
"Diapain Ras? Kamu ini pikirannya aneh-aneh aja! Gak baik kayak gitu!" potong Mama yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku. Creepy, padahal aku sama sekali tak mendengar suara pintu terbuka.
"Loh, Mama udah dateng? Kok Rasya gak tau?" tanyaku cengo. Aku juga refleks melihat ke arah kakinya, "napak, berarti bukan setan."
Mama mengibaskan tangannya di depan mukaku. "Gak usah mikir aneh-aneh! Ini beneran Mama. Kamu aja yang asik ngedumel sampek gak denger waktu Mama panggil-panggil, untung Mama bawa kunci cadangan."
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggaruk belakang kepala. "Mama kan baru pulang nih, Rasya bikinin minuman ya? Mama mau apa?"
"Dasar tukang ngerayu," Mama menoyor kepalaku, "but, well karena kamu udah nawarin. Mama pengen teh jahe anget. Kamu bikinin ya, gak usah dibawa ke atas, taruh aja di ruang TV, nanti Mama ke sana."
"Siap ibu negara!" Aku memberikan postur hormat, sebelum akhirnya beranjak ke dapur. Mencuci piring bekas makan malam, sekalian membuat teh untuk Mama.
Tak perlu waktu lama, teh pesanan Mama sudah siap. Seperti yang dia minta aku membawanya ke ruang TV. Saat sampai di sana, Mama sudah duduk di sofa. Dalam hati aku berkata, "buset gila, cepet banget Mama mandi."
Mama yang melihatku hanya diam mematung dengan wajah ternganga tidak aestetik akhirnya menegur, "ngapain kamu, Ras? Heh, sini! Malah ngelamun."
Aku yang ditegur hanya bisa tertawa canggung sambil meletakkan cangkir teh di meja depan Mama.
"Mama cantik sih, bikin Rasya terpana."
"Halah, ngerayu terus, mau apa kamu?"
"Mama tau aja, hehe," lagi-lagi aku tertawa canggung, Mama benar-benar paham sifat ku, "besok Rasya mau keluar sama Alika sama Zeva, Ma. Boleh, ya? Cuma mau nonton aja kok, sama nanti mampir ke Gramedia beli buku."
"Ya gak apa-apalah, dari pada kamu di rumah malah kayak gak berguna gitu," mendengar balasan Mama, refleks aku memukul pelan lengannya, "tapi jangan sore-sore ya pulangnya. Setengah empat sore udah harus di rumah, soalnya Mama mau ke butik, gantian jaga sama Tante Mira."
"Okay siap, Capt. "
Hening kemudian, hanya bunyi gesekan kertas majalah yang Mama balik yang menjadi pengisi pendengaran. Aku yang sibuk mengabari kedua temanku dan Mama yang sibuk mencari ide desain terbaru sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.
"Eh Ras, itu kue dari siapa? Kok Mama baru sadar?" tanya Mama saat matanya tanpa sengaja melihat kotak bekal penuh cookies di atas meja.
"Oiya lupa, itu tadi dari Bu Rika, Rasya lupa bilang. Belum sempet Rasya ganti wadahnya soalnya tadi nyari toples kue yang biasa dipake gak ada."
Mama berdecak tidak suka. "Kenapa gak telepon Mama? Kan sekarang cookies-nya udah gak renyah!"
"Maaf, Rasya lupa."
Mama memang terlalu perfeksionis, segala hal itu harus sempurna atau setidaknya jangan membuat kesalahan fatal. Cookies tak renyah bagi orang lain mungkin hal yang biasa, masih enak. Tapi bagi Mama hal itu bisa termasuk kesalahan fatal, bukan karena Mama pemilih makanan, tapi lebih ke penyebabnya, kenapa tidak diusahakan? Begitu pasti katanya nanti.
"Udah ya, lain kali jangan dibiarin gini aja! Kamu bisa masukin cookiesnya ke plastik dulu atau nyari cara lain, paham?"
Aku hanya mengangguk lesu, sedikit malas karena malam-malam harus kena omel. Ya sebenarnya aku paham tujuan Mama, tapi tak harus dengan mengomel juga kan menasihatinya?
"Ya udah, sana tidur! Udah malam!"
Begitulah, hari libur musim panas pertamaku ditutup dengan omelan panjang Mama tentang cookies tak renyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik
Teen FictionAku tak tau ini dimulai dari mana, bahkan aku tak tau ini sebenarnya salah siapa. Dia yang tiba-tiba datang atau aku yang merasa sedikit tak nyaman, tapi yang pasti semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan.