Waktu kini menunjukkan tepat pukul lima sore. Namun, Jimin belum juga menunjukkan tanda-tanda siap untuk pulang. Ia dan teman-temannya justru duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya berbincang-bincang banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh dan kopi berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan ringan lainnya.
"Hei, kalian lihatlah nona yang satu ini! Kalau dibiarkan, kurasa dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jisoo amat bersemangat mengutarakan pendapatnya di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai empu yang dimaksud seakan tidak mendengar kata-kata tersebut.
"Kami terkadang heran, Ji. Kenapa bisa suamimu dengan mudahnya memberi semua kartu kredit itu padamu? Kau bahkan punya Black Card." Lisa menimpali, lalu menyesap perlahan teh chamomile miliknya.
Jisoo yang praktis mengangguk, menyambung tanpa rasa sungkan, "Kalau saja kau rela memberi satu kartumu itu untuk kami bagi bertiga."
"Dalam mimpimu, Jis. Kau pikir suamiku relawan sosial? Mendanai uang belanja kalian semua? Enak saja, aku lebih setuju kalau Mas Jungkook menyumbangkannya langsung ke panti asuhan," ucapnya menohok sebelum mengambil sepiring cheesecake yang menjadi kue favoritnya.
"Astaga! Sikapmu langsung berbeda jika kami membahas tentang suamimu. Jelas sekali kau pencemburu, Jimin. Siapa tahu kalau kami yang meminta langsung, dia akan senang hati merelakannya untuk kami." Jennie berujar dengan gelagat menggoda. Perempuan itu mengedipkan sebelah mata seraya bertopang dagu di atas meja.
"Dengan senang hati aku persilakan, Jen. Ide yang bagus menurutku. Bergabunglah bersama Jisoo di alam mimpi. Karena hanya di sana kalian bisa berkhayal sepuasnya." Senyum mencibir terukir di depan ke tiga wanita sosialita itu, dan tawa keras bersusulan di antara mereka.
"Lis, dari kami semua... bukankah kau yang pertama kali menikah? Tapi, hingga sekarang kau belum juga hamil." Jennie mengalihkan topik setelah menyeruput gelas berisi choco float di tangannya.
"Aku memang belum berencana punya anak. Kau sudah tahu profesiku bukan? Karierku masih panjang... dan ya, aku tidak ingin semua impianku terhalang hanya karena kehadiran seorang anak," jawab Lisa seadanya. "Tunggu! Kau bertanya padaku soal anak? Padahal kau sendiri pun belum."
"Tak jauh beda darimu, Lis. Walau aku bukan seorang model, tapi jabatanku di perusahaan baru saja naik. Selanjutnya ... kau pasti tahu sendiri. Jika aku hamil, maka kebijakan perusahaan akan memberi cuti panjang sampai kondisiku kembali siap bekerja." Jennie seketika mendesah pelan, "Aku bahkan tidak sudi untuk membayangkannya. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan agar bisa mendapatkan pangkat tinggi seperti sekarang? Lima tahun. Tidak perlu berpikir ulang, aku jelas tidak siap untuk kehilangan itu."
Jisoo mendengkus, hingga atensi mereka berpindah padanya. "Kenapa denganmu, Jis? Ada yang mengganggu pikiranmu? Mukamu jadi masam begitu." Lisa menautkan sepasang alisnya, menunggu tanggapan.
"Setelah mendengar perkataan kalian tadi, aku makin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat dan aku tidak perlu terburu-buru menginginkannya." Jisoo menjawab tenang. Ia kembali rileks dini mencicipi kue tiramisu di situ.
"Kau tidak usah memastikannya sekarang. Semua akan terjawab saat kau dan Sehun menikah nanti." Jennie mengutarakan sepenggal jawaban bijak, disetujui dengan anggukan tegas oleh Lisa.
Ketika Jimin sedang menyesap latte yang berangsur-angsur dingin, tiga pasang jelaga temannya mengarah pada dia. "Ada apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?"
"Karena kau sendiri yang berbeda. Bisa dibilang kau dalam posisi emas. Suami tampan, kaya raya juga sangat mencintaimu. Kau bisa dapatkan segala yang kau mau tanpa harus berusaha keras. Sementara kami? Semua ini baru bisa kami nikmati dengan kerja keras." Jisoo tidak mengada-ada mengenai pernyataan demikian. Di antara kehidupan Jimin dan mereka ada sebuah kontradiksi yang sangat menonjol.
"Lalu?" Jimin balik bertanya, menggulir pandang secara bergilir pada tiga temannya.
"Ya Tuhan. Aku tidak menyangka kalau dibuai hidup enak bisa membuat seseorang menjadi lamban berpikir. Sadarlah, Ji! Semua wanita di dunia ini memimpikan berada di posisimu." Jennie yang kepalang kesal pun hampir meninggikan suaranya.
"Jalani saja hidup kita ini dengan sebaik-baiknya, setiap orang punya takdirnya masing-masing." Ya, Jimin tidak merasa perlu untuk muluk-muluk merespons asumsi sekian.
Continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Jiji & Mas Jungkook
RomanceJimin yang manja selalu merasa bahwa suaminya tidak akan pernah menolak segala permintaan dia. Lagi pula, Jungkook punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa bisa berbuat kasar sekalipun sekadar penegasan. Lalu, Jimin yan...