Lagi dan lagi kejadian serupa terulang kembali. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.
Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat memakainya dengan pelafalan yang fasih.
Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menangani berbagai jenis tekstur dan volume rambut. Selain piawai menggunting dan mengolah gaya rambut, mereka juga kerap mendapatkan pujian dari pelanggan akibat keterampilan dalam mencuci rambut. Black Pearl memberi pelatihan pijat khusus untuk staf mereka.
Seolah merasa belum cukup, Ajeng tak pernah usai menerima servis dari beberapa staf yang bergilir. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin. Kantung mata merupakan bagian yang paling dia perhatikan. "Aku enggak tahu sejak kapan ini muncul, mukaku jadi jelek. Kamu lihat deh, Jes!" Dengan cemberut dia memutar wajahnya menghadap Jeslyn.
"Agak kelihatan, sih. Tapi enggak usah khawatir, nanti juga langsung berkurang setelah perawatan. Kamu bisa minta krim atau salep khusus untuk itu, mereka menyediakannya." Jeslyn menjawab apa adanya, sudah hafal seluk beluk dan tindakan treatment yang tersedia di salon tersebut.
"Kamu yakin bisa cepat hilang? Berapa lama? Bisa besok enggak?"
"Ajeng," Jeslyn mendengkus sebelum meletakkan majalah yang dia baca semula ke atas nakas di depannya. "Itu cuma kantung mata, enggak berpengaruh banget ke penampilan kamu. Kamu bisa samarkan dengan concealer juga bedak. Ya mustahil dalam sehari langsung hilang, tapi enggak pernah juga bertahan lama. Kalau kamu kelelahan atau kurang tidur, kantung mata memang bakal muncul."
Menarik pernapasannya dalam-dalam, Ajeng masih betah cemberut. "Aku selalu begadang dalam beberapa hari ini. Pantesan mataku menghitam, jelek banget, ih." Ajeng mencebik, merasa sungguh risi atas fenomena alami yang terjadi pada wajahnya.
"Kamu sibuk apa sampe begadang begitu?! Biasanya juga tinggal tidur dan makan doang. Istri konglomerat yang dipenuhi kegabutan."
"Jaga mulutmu, Jes! Bisa-bisanya mengata-ngatai sendiri." Ajeng melirik sinis.
"Iya, iya, maaf." Jeslyn spontan mendengkus jemu, malas juga memperpanjang percakapan tidak penting demikian. "Aku heran, kenapa dua makhluk nyebelin itu belum juga datang?" Namun, Jeslyn tidak akan berhenti memerankan sosok penggerutu.
"Mungkin masih sibuk."
"Enggak deh kayaknya. Aku udah memastikan sebelum mengajak mereka ketemu di sini—aku telepon Lisa dulu." Persis Jeslyn yang dikenal, dia berdecak jangka seseorang menyambut salamnya di seberang sana.
-----
"Pak, ini berkas semalam. Anda belum mengeceknya? Saya lihat belum ditandatangani." Dimas buru-buru datang setelah Abimana memanggilnya.
"Dim, persiapanmu gimana? Minggu nanti kita berangkat ke Kalimantan." Abimana mengumumkan selagi mengamati ulang laporan hasil rapat tempo hari.
"Udah, Pak. Saya siap pergi kapanpun diminta," kata Dimas. Jiwanya masih sungguh bersemangat.
"Spirit anak muda memang beda, ya?!"
"Saya seneng banget, Pak. Lumayan, bisa sekalian keliling kalau pekerjaan udah selesai."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Ajeng & Mas Abim
RomanceAjeng yang manja berpikir suaminya selalu memenuhi segala permintaan dia. Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Telanjur terlena justru menjerumuskan Ajeng ke dalam masalah besar dan genting. Di...