Musim hujan telah tiba, udara menjadi lebih dingin dan tanah menjadi basah. Gemericik air membuat riuh suasana, membuat kegundahan hati Yeji semakin tak karuan. Hari itu tiba-tiba orang tuanya menyuruhnya untuk cepat pulang setelah kuliah, menyuruhnya berdandan dan memakai pakaian terbaiknya untuk makan malam bersama kedua orang tuanya. Hal yang wajar untuk mereka sekeluarga keluar rumah untuk makan malam bersama, menjadi hal yang tak wajar dikala orangtuanya dan ia sendiri saat ini duduk di mobil menuju restoran fancy di tengah kota dengan pakaian seperti hendak ke suatu pesta. Yeji mulai bertanya dalam hatinya, apa yang orang tuanya rencanakan? Ia yakin ini bukan acara makan malam biasa.
Sesampainya di restoran, ada seorang wanita yang berdiri di dekat pintu melambaikan tangan pada orang tuanya. Wanita itu sangat cantik, badannya mungil, senyumnya menawan dengan garis mata yang Yeji pikir sangat mirip dengannya dan sedikit garis kerutan yang tampak diwajahnya yang lembut. Ibunya langsung merangkul wanita tersebut dan bercengkrama singkat, setelah itu memperkenalkan Yeji pada sosok wanita tersebut yang ternyata adalah sahabat lama ibunya yang sudah lama terpisah karena ibunya harus pindah rumah di saat mereka masih remaja.
Wanita itu menggandeng ibunya dan mengajak Yeji dan ayahnya mengikuti mereka ke sebuah ruangan khusus bersekat yang lebih tertutup di area vip restoran tersebut. Saat pintu di buka, ada dua sosok, seorang lelaki yang sudah paruh baya dan seorang lelaki muda sudah duduk di meja makan bundar yang besar. Yeji bisa menebak bahwa itu adalah suami dan anak dari sahabat ibunya. Merekapun berdiri menghampiri Yeji dan orang tuanya lalu membungkukkan badan mereka dan bersalaman untuk pertama kalinya.
Saat Yeji hendak bersalaman dengan lelaki muda yang ia rasa seumuran dengannya, tangannya mendadak kaku, lidahnya kelu bahkan ia tak sanggup mengedipkan matanya. Ketika melihat dari dekat, lelaki itu sungguh tampan dan wajahnya lebih mirip dengan ibunya yang cantik. Yeji merasa minder bahkan ia seketika merasa jelek, pantas ibunya menyuruhnya berdandan. Untungnya Yeji menuruti perintah ibunya, kalau tidak, mungkin ia sudah pergi ke toilet untuk menangis meratapi penampilannya.
Hwang Hyunjin
Nama lelaki itu sungguh tampan seperti orangnya, marga keluarganya sama dengannya akan tetapi kata ayahnya mereka berbeda klan dengan keluarga ayah Yeji yang mana membuatnya lega entah kenapa hehe, senyumnya manis, matanya yg menyipit saat tersenyum seperti dirinya dengan versi yang lebih indah tentunya, serta jari jemarinya yang tak kalah indah saat bersalaman dengannya membuat Yeji semakin terpesona oleh keindahan lelaki muda dihadapannya tersebut.
Merekapun duduk bersama mengelilingi meja bundar dimana Hyunjin duduk berhadapan dengannya, membuat nafsu makan Yeji mendadak hilang entah kemana. Segera orang tuanya memulai makan sambil bercengkrama melepas rindu. Mereka mulai memakan appetizer yang dihidangkan, baru suapan kedua masuk ke mulutnya, Yeji tiba-tiba tersedak saat tiba-tiba sahabat ibunya mengeluarkan pertanyaan yang diluar dugaannya. Terlihat mata Hyunjin menyipit panik saat melihat Yeji tersedak dan dengan sigap ia menyodorkan segelas air minum padanya. Lalu mata tajam itu kini melirik ibunya yang duduk disebelahnya.
"Ibu kenapa bertanya seperti itu?" Tanya Hyunjin yang sebenarnya juga heran kenapa ibunya tiba-tiba bertanya pada Yeji apakah mau menjadi anak perempuannya tanpa tedeng aling-aling. Suasana ruangan menjadi hening, hingga bunyi air hujan di luar sana terdengar di dalam ruangan.
Yeji jelas tidak mau, dia tidak mau mempunyai hubungan kakak adik dengan Hyunjin. Dengan tegas Yeji menolaknya. Lalu ibu Hyunjin menjawab pertanyaan Hyunjin dengan lebih tidak masuk akal.
"Ibu menyukai Yeji pada pandangan pertama, ia sangat manis, sangat cocok denganmu Hyunjin. Kata ibunya Yeji kalian seumuran, cocok kan kalau kalian berpacaran? Atau kau mau langsung menikah?"
Kalimat itu sungguh ya SUNGGUH tidak masuk di akal akan tetapi entah kenapa Yeji sangat menyetujui hal tersebut. Wajah Yeji memerah entah saat ini dia sedang membayangkan gaun pengantin apa yang akan dia pakai di hari pernikahannya dengan Hyunjin. Haha. Sementara itu, diseberang sana Hyunjin terlihat terdiam lalu dengan cepat melirik Yeji yang wajahnya memerah, matanya membulat dan bibirnya terbuka membentuk huruf O. Hyunjin seketika tertawa, membuat seisi ruangan ikut tertawa melihat ekspresi Yeji yang dilihat Hyunjin.
"Hmmm setelah kupikir-pikir, sepertinya ide ibu bukan ide yang buruk." Jawab Hyunjin sambil tersenyum ke arahnya.
"Kau gila...." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Yeji dengan suara yang sangat amat pelan.
"Yeji kenapa kau sebut Hyunjin gila? Apakah kau tidak menyukainya?" Tanya ibunya heran.
"Bu, bu, bukan begitu tapi tapi kenapa tiba-tiba dia bisa berkata seperti itu, kita kan baru bertemu malam ini. Lagipula dia setampan itu pasti sudah punya pacar di luar sana mana kita tahu." Jawab Yeji meracau.
"Jadi kau tidak menyukaiku? Darimana kau tau aku punya pacar apa tidak?" Tanya Hyunjin sambil menaikkan alisnya.
"Bukan begitu, aku menyukaimu tapi kau itu terlalu tampan untukku." Jawab Yeji spontan, ia lupa ada orangtuanya dan orangtua Hyunjin di ruangan itu. Rasanya Yeji ingin pergi dari ruangan itu atau mengecilkan tubuhnya sekecil amoeba karena saking malunya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri.
Lalu seisi ruangan semakin penuh dengan tawa kedua orang tua mereka serta Hyunjin yang juga ikut tertawa dan memandang wajah Yeji dengan gemas. Hyunjin tidak jadi menyesal dengan keputusannya untuk ikut makan malam bersama orangtuanya. Karena awalnya Hyunjin dipaksa orangtuanya untuk datang ke acara makan malam tersebut, ibunya bilang anak sahabatnya sangat cantik bahkan ibunya punya foto Yeji dan menunjukkannya pada Hyunjin yang memang tidak minat untuk dijodohkan saat itu hanya melihat sekilas dan merasa foto itu kebanyakan filter. Tanpa disangka, Yeji memang secantik itu bahkan hanya dengan makeup tipis saja ia sudah terlihat cantik apalagi dengan kepribadiannya yang tak kalah menarik, lucu dan menggemaskan. Ya, Hyunjin menyukainya pada pandangan pertama secara nyata.