Kehilangan Kata

11 0 0
                                    

.

Hari ini terasa tidak lebih baik dari kemarin. Selalu ada saja hal yang harus segera di selesaikan dan tuntutan orang-orang tentang kesempurnaan sebuah kelakuan. Bukan begitu?

Kadang, kamu bertanya mengapa hidup terasa selalu di buru?
Di buru oleh waktu, oleh keadaan, oleh orang-orang, oleh ekspektasi yang berlebihan dan oleh angan-angan?

Semua orang melihat kamu adalah sosok pejuang yang mampu menebas badai-badai kehidupan. Mereka tidak tahu, bukan sekali dua kali kamu terjatuh. Mereka tidak tahu, bahwa kamu sendiri tengah ketakutan, jika semua harapan yang kamu gaungkan hanya menjadi ranting patah yang beterbangan. Tertiup angin, lalu hilang.

Kamu merasa tidak tenang untuk berbagai macam hal, yang sebenarnya tidak akan apa-apa jika itu tidak terjadi atau tidak tercapai.

Kamu pun merasa khawatir jika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka orang-orang itu akan meninggalkanmu begitu saja dan tidak ada lagi yang mau menemanimu untuk sekedar memberi kata usang yang berbunyi, 'keep fighting'. Padahal sejatinya kata-kata mereka tidak berdampak apapun, selain hiburan bagi dirimu yang mulai patah arang.

Seolah, kamu yang hari ini masih berjuang, entah itu untuk mencapai gelar di belakang namamu, entah itu untuk menyelesaikan masalah yang dibuat-buat bernama skripsi, atau entah itu memperjuangkan calon yang akan membersamai kehidupan.
Selalu di serobot dengan kata, kapan?kapan? kapan?

Capek ya?

Wajar saja saat senja menyapa, kamu telah kehilangan kata.
Kata untuk menjawab apa yang diekspektasikan orang lain maupun oleh dirimu sendiri.

Kapan aku akan lulus? Kapan aku akan wisuda? Kapan skripsi ini berakhir? Kapan jomblo ini usai?

Sedangkan dari orang lain pun tidak lebih menyakitkan dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Banyak yang berkecamuk di kepala, akhirnya membuat kamu hanya bisa diam. Namun, jika kamu sedang berada di momen ketika mentari itu telah berubah menjadi jingga, alangkah lebih baik, mencoba merenungkan.

Bukan untuk semakin mengacaukan keadaan dan pikiran, tapi untuk memperhatikan jiwamu yang telah lelah karena tuntutan.

Kalau kamu menatap perlahan perubahan langit di atas sana, kamu akan memahami sedikit.
Bahwa, senja itu tidak perlu berkata-kata untuk melukiskan betapa inginnya dia menutup dan mengakhiri hari.

Begitupula diri kita, mengapa kita tidak bisa diam saja dan tidak perlu menjawab pertanyaan manusia yang datang hanya karena ego penasaran mereka?
Mengapa kita sulit untuk mengabaikan, bahwa mereka itu seperti halnya langit yang cerah, lalu akan hilang di telan kegelapan malam?

Mereka akan hilang, kata-kata mereka pun akan berlalu dan sedangkan kita? Masih ada di sini, kita tidak sampai kehilangan diri sendiri hanya karena tidak terpenuhinya ekspektasi orang lain kepada kita.
Kita tidak akan hilang, hanya karena memilih diam dan mengabaikan.

Hirup nafasmu perlahan, lalu hembuskan. Edarkan pandangan ke sekelilingmu, lalu temukan hal yang membuatmu kagum, sesepele suara jangkrik yang mulai berdatangan. Tanda, kalau senja telah memanggil malam. Tanda pula, bahwa tubuhmu akan dibiarkan tertidur oleh sang penguasa alam.

Benarlah kata Allah, bahwa dijadikan tidur itu untuk melepas penat karena seharian manusia itu berjuang, bukan hanya untuk angan, namun juga ketahanan diri melawan hawa diri yang ingin selalu terpuaskan.

Manfaatkanlah malam dengan baik, dan berterimakasih kepada senja yang menyadarkan dirimu akan arti diam yang elegan.
Diam bukan untuk menang, bukan juga untuk kekalahan.
Tapi diam untuk ketenangan.
















AFTER ASRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang